Hari-hari ini kita disuguhkan dinamika politik yang menyeramkan. Demokrasi, hukum dan konstitusi terancam mati dihunus oleh anak kandungnya sendiri. Pelakunya tak lain adalah DPR melalui beberapa fraksi minus PDIP, yang secara sistematis berupaya mengangkangi dua amanat putusan MK sekaligus, yaitu Putusan MK No 60/PUU-XXII/2004 terkait penyederhanaan syarat parpol/gabungan parpol dalam mencalonkan paslon di pilkada. Serta putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat usia bagi calon Gubernur/wakil Gubernur yang tidak memungkinkan bila belum berusia 30 tahun sejak penetapan calon oleh KPU.
Di sisi lain, rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan murka dan tumpah ruah kejalan, mengutuk sikap para wakilnya. Kepentingan besar dari skenario jahat pengangkangan putusan MK tersebut mudah terbaca oleh publik: Menjegal Anies, memuluskan langkah Kaesang dan melestarikan dinasti Jokowi. Yang menjadi pertanyaan, apa kepentingan Gerindra dan Prabowo sebagai presiden terpilih dalam skenario itu?, mengapa Gerindra melalui Dasco Ahmad aktif bermanuver dan menjadi motor dalam mengoperasikan skenario tersebut. Pertanyaan itu muncul mengingat Prabowo tidak punya track record seperti itu. Hasrat Prabowo untuk menjadi presiden juga sudah tercapai. Bahkan Prabowo kemungkinan juga tidak punya kepentingan untuk pilpres 5 tahun mendatang, mengingat faktor usia. Artinya ini murni kepentingan Jokowi untuk melanggengkan dinasti keluarganya.
Karena itu, manuver Dasco tersebut sulit dipahami dari sisi kepentingan Gerindra. Sebab pertaruhannya tidak sederhana. Sikap tersebut akan mendegradasi citra partai Gerindra di mata rakyat dan pemilih. Hal itu kontradiktif dengan upaya Prabowo selama puluhan tahun membangun simpati rakyat dalam membesarkan Gerindra. Sikap melawan hukum dan konstitusi dengan mengangkangi putusan MK tersebut juga bisa berefek delegitimasi rakyat terhadap kemenangan Prabowo yang sudah dikuatkan oleh MK melalui putusannya.
Pengangkangan putusan MK efeknya juga serius bagi Marwah konstitusi. Sebab dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kita menganut supremasi konstitusi, bukan supremasi parlemen. MK adalah the final interpreter of constitution. Tidak ada institusi lain yang berhak menafsirkan konstitusi kecuali MK. Penafsiran konstitusi oleh MK melalui putusannya sejatinya bagian dari kehendak konstitusi. Dengan demikian, mengangkangi putusan MK adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
‘Pembajakan’ Golkar
Skenario mencampakkan konstitusi dan hukum berjalan seiring dengan ‘pembajakan’ partai Golkar. Airlangga sebagai Ketua Umum tiba-tiba mundur. Munas Golkar yang rencananya diselenggarakan Desember 2024 dipercepat menjadi 20 Agustus 2024. Bahlil yang notabenenya bukan kader partai muncul sebagai calon Tunggal. Ia dengan mudah terpilih secara aklamasi. Tidak ada proses demokrasi di tubuh partai. Dalam sejarah Golkar pasca reformasi, tidak pernah Golkar semudah ini ditaklukan, mengingat statusnya sebagai partai besar penyokong demokrasi dan dihuni banyak tokoh nasional.
Bagi Gerindra, merestui ‘pembajakan’ Golkar ini menyimpan bara politik. Tidak selamanya Golkar dibawah Bahlil sebagai orangnya Jokowi akan berjalan seiring dengan kepentingan Gerindra kedepan. Bisa jadi keduanya akan terlibat pertarungan yang justru menyulitkan pemerintahan Prabowo ke depan.
Sementara bagi Golkar jelas ini adalah perjudian besar yang mempertaruhkan nasib partai. Perlu diingat bahwa Golkar adalah salah satu partai yang terinstitusionalisasi dengan baik. Golkar tidak pernah bergantung dengan figure. Siapapun ketua umumnya tidak pernah berpengaruh terhadap perolehan suaranya dalam pemilu. Golkar relatif stabil di peringkat satu atau dua. Dengan adanya ‘pembajakan’ oleh kekuatan dari luar, soliditas internal Golkar terancam retak, sebab suksesi di pucuk pimpinan saat ini tidak murni aspirasi kader, tetapi intervensi pihak luar.
Resikonya, alih-alih membesarkan Golkar, sangat mungkin yang terjadi adalah penghancuran Golkar dari dalam oleh orang luar. Karena itu para tokoh dan kader Golkar sudah seharusnya tidak berdiam diri dan bersatu melawan pembajakan ini. Apalagi ada gelombang dukungan yang besar dari rakyat. Jangan biarkan Golkar diacak-acak dan marwahnya dijatuhkan.
Fenomena Golkar ini sekaligus menjadi kabar buruk bagi demokrasi kepartaian di Indonesia. Partai sebesar itu dengan infrastruktur politik yang cukup mapan, dengan mudah bisa dibajak, apalagi partai lainnya. Pembajakan Golkar ini juga bisa jadi “benchmark” oleh rezim untuk menjinakkan partai lainnya. Bayangkan, bila semua parpol sebagai pilar demokrasi dilumpuhkan, maka demokrasi terancam roboh.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement