Survei JRC: 82,3% Puas Kinerja Jokowi, Kegaduhan Politik Tidak Pengaruhi Preferensi Publik
Makin mendekati hari pencoblosan, situasi politik terasa semakin gaduh. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan pengunduran diri dari kabinet, dengan alasan menghindari persoalan etika karena maju berkontestasi dalam pemilihan presiden.
Publik pun mempertanyakan mengapa Mahfud baru mundur sekarang, padahal deklarasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo dan dilanjut besoknya dengan pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum sudah dilakukan sejak bulan Oktober 2023 lalu.
Baca Juga: Ini Strategi Prabowo-Gibran Siapkan Generasi Muda di Tengah Era Gig Economy
Masih dalam jabatannya sebagai Menko Polhukam, Mahfud juga kerap melontarkan kritik terhadap pemerintah di mana Mahfud ada di dalamnya. Mahfud bahkan menyerang keluarga Presiden Jokowi dengan menyindir Gibran Rakabuming Raka yang dinilai tidak etis terlahir dari figur sang ibu negara.
Tidak cukup dengan itu, Mahfud juga sempat menerima rombongan tokoh politik yang tergabung dalam Petisi 100 untuk mendesak pemakzulan Jokowi. Pertemuan yang dihelat di kantor Kemenko Polhukam itu jelas-jelas ditujukan untuk mendongkel atasan Mahfud sendiri.
Hari demi hari kegaduhan semakin menghangatkan atmosfer politik. Terkesan seperti dimobilisasi, kalangan perguruan tinggi tiba-tiba bergerak menyuarakan soal krisis etika dalam penyelenggaraan negara di bawah kepemimpinan Jokowi.
Dimulai dari pernyataan sejumlah guru besar Universitas Gajah Mada (UGM), kampus di mana Jokowi pernah menimba ilmu. Sebelumnya kalangan mahasiswa UGM juga sempat menyematkan gelar kepada Jokowi sebagai alumnus kampus yang paling memalukan.
Berturut-turut sivitas akademika lain turut bersuara, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Indonesia (UI), hingga kampus di luar Jawa seperti Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dan Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat.
Meskipun pihak kampus mengklarifikasi bahwa aksi-aksi pernyataan tersebut tidak mewakili secara kelembagaan, tetapi gaungnya telanjur kental dengan nuansa politik. Gelombang keprihatinan perguruan tinggi itu muncul seiring makin santernya wacana Pilpres berjalan dalam satu putaran.
Persoalan krisis etika yang dilontarkan pun bisa ditarik mundur ketika keluar putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan penyelenggara negara yang menjabat melalui proses elektoral, termasuk kepala daerah, bisa maju dalam Pilpres meskipun belum berusia 40 tahun.
Putusan MK itu dituding semata-mata demi memuluskan jalan Gibran, putera sulung Jokowi yang masih menjabat walikota Solo tetapi belum memenuhi syarat usia, untuk maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Baca Juga: Jokowi: PSI Bakal Lolos ke Senayan
Padahal dalam argumentasinya, putusan MK itu memberi kesempatan bagi ribuan orang selain Gibran yang terhalang oleh regulasi yang dianggap tidak lagi kontekstual. Saat ini anak muda milenial dan generasi Z mendominasi pemilih, tetapi terhalang hak pilihnya pada arena Pilpres.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement