Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Potensi Toko Ritel Tradisional Masih Jadi Pilihan Masyarakat di Era Belanja Digital

Potensi Toko Ritel Tradisional Masih Jadi Pilihan Masyarakat di Era Belanja Digital Kredit Foto: MR DIY
Warta Ekonomi, Jakarta -

Transformasi digital di Indonesia mendapatkan momentumnya saat Indonesia mengalami pandemi Covid 19 pada tahun 2020 yang lalu. Proses digitalisasi toko fisik menjadi online store sudah tidak lagi menjadi competitive advantage, melainkan sudah menjadi keharusan dan bahkan kebutuhan.
Platform digital eDagang seperti mendapat “durian runtuh” dengan banyaknya toko ritel dari berbagai merek ternama membuka akun resminya di berbagai platform tersebut. Bahkan efisiensi sektor ritel sudah sampai pada tahap optimalisasi karyawan karena beralih ke penjualan online.

Menurut President Director Mr.DIY, D. Cyril Noerhadi, offline store masih menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia saat berbelanja. Berdasarkan survey yang dipublikasikan di Statista mengenai kategori produk yang dibeli secara online dan offline, untuk kategori pakaian, 62 persen masyarakat Indonesia membeli via online.
Namun selain itu, berbagai produk seperti sepatu, aksesoris, kosmetik, elektronik, perkakas rumah tangga, obat-obatan, makanan dan minuman (di luar jasa 
food delivery) menunjukkan lebih dari 50 persen masih memilih membeli langsung di toko ritel. Survei yang dilakukan pada tahun 2022 ini melibatkan 1,048 orang dengan kelompok umur 18 hingga 63 tahun.

Baca Juga: Yuk Simak! Begini Tren Belanja yang Paling Disukai Milenial dan Gen Z di 2024

“Pertama, karena toko fisik memberikan pengalaman berbelanja yang tidak dimiliki oleh toko online. Sebagai contoh, banyak keluarga yang menjadikan aktifitas berbelanja sebagai wisata dan berganti suasana. Pergi ke mall dan memilih barang elektronik dengan nuansa keramaian pengunjung dan latar musik yang mengiringi selama berbelanja tentu berbeda dengan sekedar membuka gawai dan melakukan transaksi secara digital,” tuturnya.

Kedua, tambahnya, faktor bias antara produk yang dijual melalui gambaran visual dengan produk nyata. Ada rasa kekhawatiran antara barang yang dibeli berbeda kualitasnya dengan barang yang sampai ke rumah. Hal ini diperkuat dengan survey  Pengetahuan dan Perilaku Ekonomi Digital Gen Y dan Z di Indonesia yang dilakukan Libang Kompas dan Tokopedia, bahwa sebanyak 59,5 persen responden mengaku khawatir kualitas barang yang dibeli secara online kurang baik. Selain itu, sebanyak 44 persen responden juga mengaku khawatir karena tidak ada jaminan dari produk yang dibeli secara online. Mereka juga takut tertipu oleh penjual di samping pengiriman barang terlalu lama, yaitu dengan angka masing-masing 43,3 persen dan 20,1 persen.

“Di sini menunjukkan bahwa aspek kepercayaan juga memainkan peran penting dalam mempertahankan popularitas toko tradisional. Beberapa konsumen masih skeptis atau ragu terhadap transaksi online karena kekhawatiran terkait keamanan data dan kualitas produk yang mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi,” ungkap Dewan Pengawas (Independen) pada Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ini.

Seiring dengan toko tradisional yang masih mendominasi preferensi belanja di Indonesia, toko digital atau toko online juga menghadapi sejumlah tantangan dalam upaya mereka untuk bersaing. Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh toko online di Indonesia adalah masalah infrastruktur dan konektivitas internet yang belum merata di seluruh wilayah secara nasional.

Baca Juga: Teknologi AI Ini Dorong Omzet Bulanan Toko Online Jadi Berlipat Ganda

“Sebagian masyarakat, terutama di daerah pedesaan, mungkin mengalami keterbatasan akses internet yang dapat membatasi kemampuan mereka untuk berbelanja online dengan lancar.”

 Selain itu, kata peraih gelar doktor di bidang Strategic Management di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut, belum separuh penduduk Indonesia yang memilih belanja daring. Berdasarkan riset Beyond the Digital Frontier, laporan hasil kolaborasi Katadata Insight Center (KIS) dan perusahaan penyedia layanan social commerce Evermos,  bahwa masyarakat Indonesia yang aktif belanja daring masih sangat sedikit, dengan estimasi sekitar 33,4% dari total penduduk. Selain itu, riset ini menunjukkan bahwa  perusahaan-perusahaan lokalyang mampu mencetak penjualan di atas Rp500 miliar per tahun, umumnya memiliki kinerja pemasaran offline yang lebih kuat dibanding online.

“Persaingan ketat di pasar e-commerce juga menjadi tantangan serius bagi toko online. Dengan berbagai platform digitalyang bersaing memperebutkan perhatian konsumen, toko online harus berinovasi, menawarkan layanan yang lebih baik, dan memahami selera pasar lokal untuk tetap bersaing. Selain itu, logistik dan pengiriman menjadi aspek penting yang perlu diatasi agar dapat memberikan pengalaman berbelanja online yang memuaskan.”

Lanskap perdagangan di Indonesia, baik melalui platform online maupun konvensional, sedang mengalami transformasi yang mencerminkan perubahan dalam perilaku konsumen dan strategi bisnis. Pertumbuhan pesat pasar online di Indonesia didorong oleh akses mudah ke internet dan perangkat seluler. Namun, persaingan di dunia daring juga semakin ketat, melibatkan pelaku lokal maupun internasional yang harus terus berinovasi, menyajikan layanan yang kompetitif, dan membangun kepercayaan konsumen di tengah dinamika tren belanja yang berubah dengan cepat.

Sementara itu, pasar konvensional di Indonesia masih tetap relevan, terutama untuk produk tradisional dan layanan yang membutuhkan interaksi langsung antara penjual dan konsumen. Meskipun demikian, pasar konvensional juga menghadapi sejumlah tantangan, termasuk biaya operasional yang tinggi seperti sewa toko dan upah karyawan. Pergeseran pola belanja konsumen menuju belanja online juga memberikan dampak terhadap keramaian toko fisik.

“Dengan segala kelebihan yang dimilikinya, toko tradisional dapat tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar konsumen dalam pola berbelanja. Meskipun toko online terus berkembang sebagai pilihan pola belanja konsumen, daya tarik unik toko tradisional, seperti pengalaman langsung, interaksi sosial, jenis dan variasi barang belanja serta kepercayaan yang terbangun dengan baik, memastikan bahwa sistem toko tradisional ini tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya belanja masyarakat Indonesia,” tutup mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (BEJ) tersebut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: