Ketum FOKSI Laporkan Sutradara dan Akademisi di Film Dirty Vote dengan Dugaan Pidana Pemilu
Sejak tanggal 11 Februari 2024, bertepatan dengan masa tenang kampanye Pemilu 2024, secara mengejutkan muncul film dokumenter yang berjudul "Dirty Vote".
Film yang disutradarai Dandy Laksono dan dibintangi tiga akademisi yaitu Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, dan Bavitri Susantri ini viral saat rilis di YouTube, dengan hampir 4 juta penonton hanya dalam waktu 24 jam.
Menanggapi hal ini, sejumlah aktivis pemuda yang tergabung dalam DPP Forum Komunikasi Santri Indonesia (FOKSI) mengambil tindakan.
Melalui ketua umumnya, M. Natsir Sahib, yang bertindak sebagai saksi pelapor, FOKSI mendatangi Bareskrim Mabes Polri untuk berkonsultasi dalam melaporkan pihak yang dianggap bertanggung jawab pada film "Dirty Vote", yaitu Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, Bavitri Susantri dan Dandy Laksono ke Bareskrim Mabes Polri.
"Dalam hal ini, kami berkonsultasi dengan pihak Bareskrim Mabes Polri untuk melaporkan dugaan pelangaran Pemilu yang dilakukan oleh tiga akademisi yakni Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, Bivitri Susantri serta Dandy Laksono selaku sutradara 'Dirty Vote'," ujar M. Natsir Sahib Ketua Umum FOKSI sebagai saksi pelapor di Bareskrim Mabes Polri Jakarta, Senin (12/2/2024).
"Karena, dengan waktu di masa tenang pemilu memunculkan sebuah film dokumenter tentang kecurangan pemilu, yang bertujuan untuk membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres, (itu) yang bertentangan dengan UU Pemilu, yang mengatur tentang masa tenang," lanjutnya.
Menurut M. Natsir Sahib atau Gus Natsir sapaan akrabnya, tiga akademisi dan sutradara "Dirty Vote" diduga melanggar pasal 287 ayat 5 UU 07 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Kami minta Bareskrim Mabes Polri agar profesional dan presisi untuk mengusut dugaan pidana pelanggaran pemilu ini, karena di masa tenang ini, termasuk pelanggaran pemilu yang serius dan tendensius terhadap calon lainnya," tegas Natsir.
Selain itu, ungkap Natsir, tiga akademisi dalam film "Dirty Vote" terlibat dalam tim reformasi hukum di Kemenkopolhukam saat dipimpin oleh Mahfud MD. Oleh karena itu, hal ini dinilai politis karena Mahfud MD sedang menjadi salah satu konstestan Pilres 2024.
"Kami menilai para akademisi tersebut telah menghancurkan tatanan demokrasi dengan memenuhi unsur niat permufakatan jahat, membuat isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga munculnya gejolak di masyarakat dengan fitnah dan data palsu yang disebar ke masyarakat. Ini daya rusaknya luar biasa di tengah masyarakat," pungkas Natsir.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement