Kebijakan harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri berdampak pada berkurangnya penerimaan negara.
Berdasarkan catatan SKK Migas penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar US$6 per MMBTU lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp15,68 triliun.
Koordinator Program migas Direktorat Jenderal Minyak dan gas bumi (Dirjen Migas) Rizal Fajar Muttaqien, menyatakan pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu.
“Kemenprin juga sudah mengsulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT, hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini," ujar Fajar dalam webinar Forum Wartawan Energi, Rabu (28/2/2024).
Sementara itu, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya menyebut terdapat sejumlah tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam pengembangan gas dalam negeri baik itu dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi.
Baca Juga: Kelebihan Pasokan, Konsumen Gas Harus Dalam Negeri Disiapkan Untuk Menyerap Produksi Nasional
Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya resiko pengembangan hulu migas berdampak rendahnya investasi yang masuk.
"Dari sektor hulu, kita tahu sektor hulu merupakan pengembangan industri yang beresiko tinggi dan berdampak pada bagaimana kita undang investor masuk dalam usaha industri hulu," ujar Aris Mulya.
Di sisi lain, Kepala Satuan Pengembangan Teknologi dan Managemen Aset PT PLN Indonesia Power (PT PLN IP) Tarwaji Warsokusumo mengatakan, duck curve yang terjadi di USA jangan sampai terjadi di Indonesia.
Untuk itu, ia melihat PLN harus bisa memberikan kehandalannya dalam memproduksi daya listrinya, tentunya dengan meningkatkan kapasitas PLTGU.
Baca Juga: SMGP Pastikan Tidak Ada Kebocoran Gas Dari Pipa Perusahaan
"Untuk itu kita harus membutuhkan pembnagkit yang begitu cepat respon di California sendiri membutuhkan pembangkit 13.000 mega watt untuk menstabilkan jaringan interkoneksi," ujar Tarwaji.
Tarwaji menilai, Indonesia harus menyediakan pembangkit-pembangkit yang mempunyai fleksibilitas dalam menangani beban minimum dan maksimum. Sebab dengan kemampuan fleksibilitas ini, dapat terhindar dari bangkrut.
“Nah ini persolan pelik yang kita sediakan sebagai provider. Di mana kalau hanya mengunakan PLTU saja kita hanya bisa masuk 5 MB per menit ini sangat lambat. Sehingga kita butuhkan pembangkit listrik sejenis PLTG yang bisa merespon sekitar 88MW per menit," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement