Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apa Alasan PKS Menolak RUU DKJ?

Apa Alasan PKS Menolak RUU DKJ? Kredit Foto: Ist
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Anshori Siregar menegaskan partainya menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (18/03/24).

“Terdapat aspirasi masyarakat yang tidak terakomodasi keinginan untuk memiliki Walikota dan Bupati serta DPRD Tingkat Kota dan Kabupaten, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan memohon taufik Allah SWT dan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, menyatakan MENOLAK Rancangan Undang Undang Daerah Khusus Jakarta,” tegas Anshori dikutip dari laman fraksi.pks.id.

Alasan Menolak

“Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan terkait dengan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta adalah sebagai berikut:
Pertama, Fraksi PKS berpendapat penyusunan dan pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta yang tergesa-gesa karena seharusnya sudah lebih dahulu ada sebelum adanya UU Ibu Kota Negara berpotensi menimbulkan banyak permasalahan karena penerapan UU Pemerintahan Daerah pada Jakarta membutuhkan banyak penyesuaian dan membutuhkan masa transisi yang panjang,” tandasnya.

Kedua, imbuh Anshori, Fraksi PKS berpendapat bahwa masih perlu dikaji lebih mendalam tentang posisi Jakarta yang dalam RUU ini bertumpuk-tumpuk dengan berbagai sebutan dan posisi.

“Ketiga, Fraksi PKS berpendapat bahwa RUU belum melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation),” tegas Anggota Komisi IX DPR RI ini.

Keempat, lanjutnya, Fraksi PKS berpendapat bahwa Memaksakan pembahasan bermasalah secara hukum pembentukan perundang-undangan karena sudah lewat waktu sejak UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022.

“Terdapatnya cacat procedural termasuk mempertaruhkan substansi pengaturan, juga akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang Jakarta. Ketiadaan atau rendahnya partisipasi masyarakat akan menyebabkan lemahnya legitimasi undang-undang tersebut,” tegasnya.

Baca Juga: Soal Klaim Food Estate Panen Jagung 25 Ton, PKS: Sesuatu yang Sangat Menyedihkan

Kelima, lanjut Anshori, Fraksi PKS berpendapat apabila status ibukota negara beralih dari Jakarta, maka sudah seharusnya Jakarta terdiri atas wilayah kota otonom yang semula bersifat administratif.

“Keenam, Fraksi PKS berpendapat bahwa klausul tentang pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur perlu dipertahankan yakni Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara berpasangan melalui pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,” urai Anshori.

Ketujuh, imbuhnya, Fraksi PKS berpendapat banyak permasalahan dalam pengaturan subtansi yang penting.

“Fraksi PKS memandang bahwa pelibatan sebuah lembaga adat dan kebudayaan Betawi ini sangatlah penting dalam upaya pemajuan kebudayaan Betawi dan menjadi lembaga yang punya peran strategis dalam memperkuat ketahanan budaya di tengah derasnya arus budaya asing yang masuk ke tengah-tengah masyarakat,” terang Anshori.

Kedelapan, lanjut Anshori, Fraksi PKS berpendapat bahwa belum terlihat aturan yang berupaya memberikan kekhususan bagi Jakarta.

Fraksi PKS, kata Anshori, menginginkan terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila, hukum di Indonesia harus dapat menjamin bahwa pembangunan dan seluruh aspeknya didukung oleh suatu kepastian hukum yang berkeadilan.

“Untuk itu, RUU tentang Daerah Khusus Jakarta telah lewat waktu dan perlu dikaji lebih lanjut terutama dalam hal pengelolaan keuangan daerah, serta wewenang khusus pada Pemerintah Provinsi Jakarta. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan pertentangan dan kecemburuan dari daerah-daerah lainnya dan tidak menambah permasalahan yang kompleks di Jakarta,” ungkapnya.

Menimbang hal yang dipaparkan, imbuh Anshori, yakni waktu yang mepet karena seharusnya kajiannya mesti seksama. Beberapa pembahasan maju mundur, misalnya Gubernur yang diangkat atau ditunjuk Presiden dan sekarang dipilih melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada), awalnya Pilkada dengan suara terbanyak sekarang mesti 50%+1.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto

Advertisement

Bagikan Artikel: