Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mendukung sinergi untuk mengatasi krisis air yang menjadi ancaman serius dan nyata. Hal ini perlu dilakukan di World Water Forum ke-10 di Bali pada 18 hingga 25 Mei 2024
“Mewujudkan keadilan, ketersedian dan kualitas terhadap air saat ini masih belum dipandang adil secara global ataupun regional. Inilah yang harus didorong untuk dibahas nanti. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan secara kolaboratif,” ujarnya saat konferensi pers yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB) bertajuk 'Kolaborasi Tangguh Atasi Tantangan Perubahan Iklim', Senin (1/4)
Baca Juga: BMKG Waspada, Cuaca Ekstrem Bisa Menerjang Saat Mudik Lebaran 2024
Salah satu penyebab utama krisis air, katanya, adalah terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara. Akibatnya proses pemanasan global terus berlanjut dan berdampak pada fenomena perubahan iklim yang dapat memicu krisis air, pangan dan bahkan energi.
“Meningkatnya frekuensi, intensitas dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi juga jadi persoalan,” lanjutnya.
Krisis air dikatakan Dwikorita menjadi ancaman serius bagi seluruh negara di dunia. Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO) yang dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, BMKG pun memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di berbagai negara.
"Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan. (Hal ini bisa terjadi) baik di negara maju maupun berkembang. Baik Amerika, Afrika dan negara lainnya sama saja (terdampak)," kata Dwikorita
Di sisi lain, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran. Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.
Pada kesempatan tersebut Dwikorita mengungkapkan jika Indonesia saat ini belum terdeteksi mengalami hotspot air, namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi. Karena jika lengah dan gagal memitigasi, diproyeksikan pada 2045-2050 disaat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.
Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan beberapa waktu lalu telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia. Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.
"Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021," ujar Dwikorita.
Gangguan Perubahan Iklim pada Perekonomian
Laju perubahan iklim di dunia bisa menganggu seluruh sektor kehidupan utamanya adalah perekonomian sebuah negara. Dalam catatan WMO, negara maju bisa mengalami 60 persen dari kerugian ekonomi terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: Sambut World Water Forum ke-10, Kominfo Ajak Partisipasi Masyarakat Lewat Konser Musik
Namun di negara berkembang akan terdampak 7 % dari bencana menyebabkan kerugian 5-30 persen dari PDB. Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20 persen dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5 persen dari PDB dan dibeberapa kasus bisa melebihi 100 persen.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement