Associate Professor Public Policy & Management Program Monash University Ika Idris menjelaskan peluang bisnis menjadi influencer yang bisa dilakukan masyarakat.
Hal ini Ika sampaikan melihat geliat digitalisasi termasuk dalam hal ekonomi di Indonesia.
Ika mengungkapkan geliat Ekonomi Digital di Indonesia bisa dilihat dari angka pengeluaran untuk iklan yang di pasang secara digital. Menurutnya, angka-angka yang ada menunjukkan tingginya aktivitas ekonomi digital di Indonesia.
“Seberapa bergairah sih ekonomi digital kita? kalau dilihat dari pengeluaran iklan digital, di sini saya ambil dari we are sosical dan melt water, di situ memang untuk pengeluaran tahunan digital ads saja sampai 3 miliar USD, dan juga yang selanjutnya tinggi ada online search lalu digital video ads Youtube, berarti ada platfom tertentu yang menikmati makan besar dari digital spending kita,” ungkapnya dalam diskusi daring yang diselenggarakan Magister Ekonomi Terapan Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Padjajaran, Senin (13/5/24).
Salah satu peluang yang Ika sampaikan terkait dengan ekonomi digital di Indonesia adalah menjadi influencer.
Bukannya tanpa alasan, menurutnya, pengeluaran untuk jasa Influencer cukup besar di Indonesia.
Fenomena influencer ini bahkan menurutnya telah menggeser fungsi pelaku UMKM dalam event pemilu 2024.
“Yang menarik adalah annual spent on online influencer activites, jadi ada 190 Juta usd untuk influencer activites bahkan ini terasa di election kita waktu kemarin pada masa election itu kemekop ukm sempat bikin press confrence menunjukkan bahwa di election 2024 UMKM dapat porsi sedikit sekali turun sepertiga UMKM seperti cetak banner, kaos, merchandise, dsb turun sampai 3 kali lipat, di sisi lainnya malah naik ke digital, jadi sebegitu besarnya pasar digital, bahkan pada momen harusnya UMKM itu lebaran karena ada event belanja tapi masih dan sudah tergerus dengan digital,” jelasnya.
Baca Juga: Jadi Produktif di Era Digital Melalui Pembuatan Konten Digital
Menurut Ika, menjadi influencer memang awalnya dipandang sebelah mata dan cenderung diremehkan.
Namun berjalannya waktu hal ini berubah dan bisa menghasilkan.
“BBC news Indonesia menulis bahwa bisnis Influenscer ini sangat menggiurkan namun kerap diremehkan, hingga 2022 ini ada sekitar 16,4 USD untuk jasa influencer di mana untuk mereka yang mikro influencer sekitar 10-50 ribu (Follower) itu untuk tarif rata-rata sekitar 7 juta, itu satu produk atau informasi yang dia sampaikan di medsosnya. Yang paling tinggi barangkali di level Rafi Ahmad di manas satu post sampai 40 juta rupiah, sekarang ada tren nano influencer di bawah 10 ribu bahkan 5 ribu dengan jumlah lebih kecil tapi tentu saja menargetkan audience ceruk pasar yang unik,” ungkapnya.
Meski punya peluang besar, Ika mengingatkan fenomena pasar influencer ini bukannya tanpa masalah yang menyangkut hal besar.
Menurutnya, terciptanya diisinformasi dari Influencer sangat sering terjadi di mana isi konten yang dibuat kerap kali tak sesuai dengan fakta yang ada.
Tuntutan membuat konten kerap kali membuat influencer tak memedulikan apakah yang mereka sampaikan benar atau salah, belum lagi kalau ada tuntutan dari pengguna jasa mereka yang mana telah memberikan keharusan penyampaian narasi versi mereka.
“Namun tentu saja dengan banyaknya konten yang diproduksi influencer dengan tingginya traffic untuk medos dan tingginya iklan yang mana informasi versi perusahaan, ternyata ada problem yang sampai saat ini presistence yakni disinformasi,” ungkapnya.
“Perkembangan teknologi digital dan internet tidak hanya membawa potensi ekonomi baru, tapi juga membawa dampak negative yang efeknya sustained atau menetap,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait:
Advertisement