Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menelaah Fenomena Quiet Quitting, Ketika Karyawan 'Jengah' dalam Bekerja

Menelaah Fenomena Quiet Quitting, Ketika Karyawan 'Jengah' dalam Bekerja Kredit Foto: Unsplash/Adam Satria
Warta Ekonomi, Jakarta -

Quiet quitting, quitting the idea of going above and beyond at work. Work is not your life. Your worth is not defined by your productive output,” kata salah seorang Tiktoker asal Amerika @zaidleppelin beberapa waktu lalu. Lantas, apa itu istilah quiet quitting?

Quiet quitting atau berhenti diam-diam merupakan konsep untuk tidak lagi bekerja melampaui batas dan hanya melakukan apa yang diminta sesuai deskripsi pekerjaan.

Dikutip dari Time, Senin (01/7/2024), melalui artikel yang berjudul “Employees Say ’Quiet Quitting’ is Just Setting Boundaries. Companies Fear Long-Term Effects” ada berbagai dugaan penyebab viralnya istilah berhenti diam-diam dalam pekerjaan ini. 

Salah satunya adalah dari Johnny C Taylor Jr, Presiden dan CEO Society for Human Resource Management menyebut bahwa penyebabnya yakni pekerjaan jarak jauh yang menyebabkan kelelahan parah dan kelelahan Zoom atau Zoom Fatigue. Alhasil, situasi tersebut mempersulit pekerja istirahat di rumah.

Di sisi lain, Deloitte terkait Global Gen Z and Millennial Survey 2022 menunjukkan adanya perbedaan tentang cara pandang antara pekerja generasi baby boomers, generasi X dan generasi lebih muda. Generasi lebih muda cenderung memprioritaskan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik dibandingkan generasi terdahulu.

Berhenti diam-diam bukanlah istilah baru di dunia kerja. Harvard Business Review (HBR) dalam artikel berjudul “Quiet Quitting is about Bad Bosses, Not Bad Employees” menjelaskan bahwa berhenti diam-diam dalam fenomena pekerja ini adalah nama baru untuk perilaku lama. Selama beberapa decade lalu, sudah ada penilaian kepemimpinan yang intinya meminta pekerja menilai apakah lingkungan kerja mereka adalah tempat yang tepat di mana orang ingin bekerja lebih keras.

Baca Juga: PHK Karyawan Lokal Tokopedia-TikTok Disebut Demi Pekerja China, Ini Kata Kemenaker

“Alasan berhenti diam-diam biasanya karena kurangnya kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih banyak terkait dengan kemampuan manajer untuk membangun hubungan dengan karyawan mereka,” tulis HBR, dikutip Warta Ekonomi, Senin (01/7/2024).

HBR juga menjelaskan bahwa pada titik tertentu dalam karier, banyak orang mengaku telah bekerja untuk seorang manajer yang mendorong mereka untuk “berhenti secara diam-diam”. Dus, hal itu berasal dari perasaan diremehkan dan tidak dihargai yang kemungkinan para manajer tersebut bersikap bias atau terlibat dalam perilaku yang tidak pantas. Alhasil, reaksi awal atas tindakan manajer yang demikian biasanya adalah karyawan yang menjadi kurang termotivasi.

Lebih lanjut, alasan berhenti diam-diam yakni karena kurangnya kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras, kreatif, dan lebih banyak terkait dengan kemampuan manajer dalam membangun hubungan dengan para karyawan mereka.

Pada level pertengahan karier bekerja, sebagian besar karyawan bekerja untuk seorang pemimpin yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan segala kemungkinan guna mencapai tujuan dan sasarannya. Bahkan, kadang kala, mereka mau bekerja lembur atau datang lebih awal karena manajernya menginspirasi mereka dalam bekerja.

HBR, dalam artikel yang sama, juga menyebut bahwa berdasarkan riset terhadap lebih dari 113.000 pemimpin ditemukan, membangun kepercayaan dengan bawahan itu penting. Ketika bawahan langsung memercayai pemimpin mereka, mereka berasumsi manajer peduli dengan mereka, termasuk peduli terhadap kesejahteraan mereka.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: