Pabrik Kelapa Sawit (PKS) brondolan kini marak bermunculan di Riau. Kehadiran PKS brondolan tersebut pada akhirnya memberikan dampak negatif terhadap PKS konvensional eksisting. Salah satunya milik perusahaan perkebunan anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Ketua Gapki Riau, Lichwan Hartono mengaku resah dengan PKS brondolan dan akan melaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha lantaran persaingannya yang sudah tidak sehat.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Di dalam peraturan tersebut, ada persyaratan pengaturan yang berbeda terkait dengan izin industri minyak mentah kelapa sawit/KBLI 10431.
Persyaratan perizinan untuk industri minyak mentah kelapa sawit atau CPO, dalam lampiran II 2.A.12 Sektor Pertanian mempersyaratkan harus terintegrasi dengan kebun sawit, skala usaha besar dan risiko tinggi.
Akan tetapi, lampiran II 6.A.167 Sektor Perindustrian mengatur sebaliknya. Syaratnya adalah industri kecil, industri menengah, berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri dengan kata lain tidak mempersyaratkan terintegrasi dengan kebun kelapa sawit, lalu skala usaha kecil, dengan risiko rendah.
Berdasarkan lampiran sektor perindustian ini ketika masuk ke OSS dengan modal Rp1-5 miliar tidak termasuk bangunan dan tanah bisa otomatis terbit tanpa rekomendasi teknis lingkungan.
“Pabrik kelapa sawit anggota Gapki Riau bukannya tidak mampu bersaing, namun karena buah kelapa sawit yang dibeli beda menjadi tidak adil. Kami membeli tandan buah segar dimana disinya buah yang dalam beberapa malai/spikelet sedang mereka hanya buahnya saja. Ibaratnya mereka hanya beli inti, kita beli semuanya dan ketika diolah masih ada limbah tandan kosong,” ucap Lichwan dalam keterangan yang dikutip Warta Ekonomi, Senin (15/7/2024).
Di sisi lain, pihaknya mewanti-wanti dengan PKS brondolan. Salah satunya adalah persoalan limbah yang dihasilkan lantaran tidak ada rekomendasi teknis lingkungan soal pengolahan limbah. Lichwan juga mempertanyakan persoalan modal PKS brondolan yang maksimal Rp5 miliar saja. Maka dari itu dia meminta pemerintah memperhatikan kasus ini.
Baca Juga: BPDPKS Resmikan Ruang Imersif di Museum Perkebunan Indonesia, Jadi Sarana Edukasi Kelapa Sawit
Dirinya mengungkapkan, saat ini bukan perusahaan perkebunan sawit saja yang mengeluh karena kehilangan brondolan, melainkan para petani kelapa sawit juga seperti petani plasma anggota aspekpir.
Lichwan mengatakan bahwa mereka sudah resah dan menyurati pemerintah. Pertani tidak bisa apa-apa ketika kehilangan brondolan yang telah dicuri. Dengan kata lain, maraknya pabrik brondolan ini juga memicu pencurian.
“Kebun petani sudah tinggi 12-13 meter. Parameter panen adalah adanya brondolan yang jatuh. Kalau brondolan dicuri maka mereka tidak tahu buahnya sudah matang atau belum karena pohonnya sudah terlalu tinggi untuk dinilai visual,” tuturnya.
Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka pihaknya meminta agar Peraturan Gubernur Riau Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Produksi Pekebun di Provinsi Riau yang sebagian diubah dalam Pergub Nomor 5 Tahun 2021 segera dievaluasi atau direvisi.
Menurut Pergub 77/2020 Pasal 13 menyebutkan bahwa TBS yang diterima di PKS disortasi dan harus memenuhi persyaratan jumlah brondolan yang dikirim oleh PKS paling sedikit 12,5%.
Menurut catatan Lichwan, brondolan yang masuk ke PKS menyebabkan rendemen anjlok. Dia menjelaskan ada dua jenis PKS brondolan di Riau yakni PKS tanpa kebun yang tidak mampu bersaing akhirnya beralih hanya mengolah brondolan saja, serta PKS mini yang memang tujuan pendiriannya untuk mengolah brondolan saja. PKS kedua ini, ujar Lichwan, yang dimanfaatkan celah KLBI 10431 Perindustrian berupa usaha kecil.
“Kami minta perhatian pemerintah karena keberadaanya sudah meresahkan perusahaan perkebunan dan petani. Terjadi persaingan tidak sehat, rendemen PKS kami turun dan memicu masalah sosial baru yaitu pencurian brondolan,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement