Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pendekatan Baru Transfer Pricing Berlaku 2025, Simak Tantangannya

Pendekatan Baru Transfer Pricing Berlaku 2025, Simak Tantangannya Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) baru saja merilis panduan tentang Amount B dari Pilar Satu, yang kini diberi nama Simplified and Streamlined Approach (SSA) untuk fungsi pemasaran dan distribusi dasar. SSA bertujuan untuk menyederhanakan proses transfer pricing atau penentuan harga transfer dalam transaksi antar perusahaan, dengan mengurangi kompleksitas dan meningkatkan kepastian pajak bagi perusahaan multinasional. Pendekatan ini akan menggantikan benchmarking komparatif yang saat ini digunakan dan akan mulai berlaku untuk tahun-tahun yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2025.

Dalam webinar RSM Indonesia yang bertajuk Transfer Pricing and International Tax Updates, Partner Tax RSM Indonesia Salil Goyal menjelaskan bahwa terdapat beberapa tantangan utama dalam penerapan SSA yang perlu menjadi perhatian. Pertama, karakterisasi yang memerlukan pemahaman bersama tentang pola fakta dan kriteria kualifikasi.

Kedua, pengembalian penjualan yakni perbedaan ekspektasi otoritas pajak terhadap wilayah prinsipal. Ketiga, penyelesaian sengketa, SSA dapat menukar sengketa benchmarking dengan sengketa karakterisasi.

Baca Juga: Grant Thornton Indonesia Tekankan Pentingnya Ketaatan pada Peraturan Transfer Pricing dalam Mengantisipasi SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

Keempat, sumber daya Otoritas Pajak yang harus mampu mengimplementasikan dan berkomitmen pada mekanisme penyelesaian sengketa SSA.

Kelima informasi keuangan, keenam Bea Cukai terkait dengan kesesuaian ekspektasi harga transfer dengan persyaratan Bea Cukai. Ketujuh, valuta asing di mana terdapat risiko dari mata uang di wilayah dengan volatilitas lebih tinggi.

Dan terakhir, kriteria kualifikasi yang menyangkut uiaya operasional harus dalam rentang 3%-30%. 

Salil menjelaskan bahwa dalam proses implementasi SSA dan menghadapi tantangan-tantangan yang ada, penting untuk menentukan langkah dan tindakan perusahaan yang tepat.

“Penting untuk memastikan beberapa langkah berikut, di antaranya, memastikan grup memahami di mana SSA dapat diterapkan dalam operasinya, meninjau dan mengonfirmasi karakterisasi aktivitas distribusi untuk memastikan kesesuaian dengan SSA, meng-konfirmasi pendekatan di setiap yurisdiksi untuk memastikan kepatuhan local, mengidentifikasi sumber data keuangan yang relevan untuk analisis dan pelaporan, mempertimbangkan apakah penggunaan streaming praktis untuk implementasi SSA, melakukan pemodelan dampak untuk memahami implikasi keuangan dari penerapan SSA, memahami perubahan yang diperlukan untuk distributor dan pihak lawan bisnis dalam penerapan SSA, melibatkan pemangku kepentingan untuk mendapatkan dukungan dan memastikan pemahaman yang baik tentang SSA, meninjau dan memperbarui dokumentasi untuk mencerminkan penerapan SSA dan perubahan terkait, serta menganggap SSA sebagai isu yang harus terus dipantau dan diperbarui sesuai dengan perkembangan dan perubahan regulasi,” jelas Salil.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Anjlok, Pemerintah Rugi Rp76,4 Triliun Akibat Pelemahan Harga Komoditas Ini

Sebagai catatan, Transfer Pricing adalah metode yang digunakan untuk menetapkan harga dalam transaksi antara perusahaan yang tergabung dalam satu grup atau yang memiliki hubungan istimewa. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa harga tersebut sesuai dengan prinsip "arm's length", yaitu harga yang wajar seperti yang berlaku jika transaksi tersebut dilakukan antara pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Pendekatan SSA diharapkan akan memberikan panduan yang lebih jelas dan sederhana bagi organisasi multinasional dalam menetapkan harga transfer mereka, sekaligus mengurangi risiko sengketa pajak dan meningkatkan kepastian bagi semua pihak yang terlibat.

Perlu dicatat, dalam webinar yang sama juga ditekankan bahwa pada 13 Juni 2024 lalu Pemerintah telah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 77/2019 yang mengatur terkait dengan Multilateral Instrument (MLI). Revisi yang dilakukan melalui Perpres 63/2024 ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk memperkuat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dengan negara lain yang tercakup dalam MLI. Lebih lanjut, upaya ini bertujuan untuk menutup celah penghindaran pajak yang sering terjadi, termasuk dalam skema transfer pricing dan diharapkan dapat memperkuat transparansi dan keadilan sistem pajak internasional di Indonesia, serta memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil berdasarkan pendapatan yang mereka hasilkan di Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: