Kalangan ekonom mulai mewanti-wanti pemerintah perihal bahaya fenomena menurunnya daya beli kelas menengah di Indonesia. Kelas menengah di negara lain yang tidak puas bisa memicu pelemahan ekonomi bahkan instabilitas politik.
Bahkan, berdasarkan pengalaman dari Ekonom Senior, Chatib Basri, yang pernah bertemu dengan mantan Presiden Chile, Michelle Bachelet di Harvard Ministerial Forum, Harvard University pada akhir lalu, krisis sosial tetap terjadi di Chile bahkan nyaris berujung revolusi kendati Michelle pamer soal keberhasilannya dalam mengatasi kemiskinan.
Sementara itu, Ekonom asal Amerika Serikat, Sebastian Edwards menyebut fenomena di Chile tersebut sebagai Chilean Paradox. Terma tersebut merujuk pada peristiwa meletusnya kerusuhan yang dimotori oleh kelas menengah di Chile pada tahun 2019 lalu. Padahal, banyak yang menilai kondisi perekonomian di negara itu sedang bagus-bagusnya.
Negara kaya minyak di Amerika Latin tersebut dinobatkan sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Bahkan, sempat menurunkan kemiskinan dari yang semula 53% menjadi 6%.
"Hal itu lebih baik dari Indonesia," kata Chatib beberapa waktu lalu melalui akun X, dikutipĀ Warta Ekonomi, Rabu, (31/7/2024).
Baca Juga: Bapanas Serukan Stop Boros Pangan Demi Penuhi Ketahanan Pangan Nasional
Menurut Chatib, kerusuhan di Chile itu disebabkan oleh kelas menengah yang tidak puas dengan pemerintah. Kebijakan pemerintah Chile dinilai terlalu fokus pada 10% masyarakat terbawah sementara kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus serta fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
"Sebagian policy-nya itu fokus pada sepuluh persen ke bawah," ucap dia.
Melihat hal tersebut, Chatib menasehati pemerintah Indonesia agar belajar dari peristiwa tersebut. Dalam beberapa tahun ke depan, kata dia, kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia bahkan bisa memengaruhi lingkungan politik hingga sosial.
Dirinya juga menyebut bahwa kelas menengah ini bakal menjadi pengeluh professional atau professional complainer yang makin berpengaruh seperti di media sosial saat ini.
"Saya enggak akan terkejut kalau 10 tahun lagi orang bisa terpilih jadi presiden kalau dia bisa menyelesaikan masalah sampah, parkir, dan fasilitas umum karena urbanisasi yang terjadi," lanjut dia.
Baca Juga: PNM Berdayakan Perempuan untuk Ekonomi Kerakyatan
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abdul Manap Pulungan, menyayangkan pemerintah yang tidak awas dengan kondisi tertekannya daya beli kelas menengah.
Dia menilai pemerintah belakangan justru membuat kebijakan yang kontraproduktif dengan tujuan memperkuat daya beli kelas menengah. Adapun kebijakan tersebut di antaranya yakni Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 nanti.
"Kebijakan itu memang bisa menaikkan penerimaan pajak di awal, tapi akan memukul perekonomian," ucap Abdul Manap.
Di sisi lain, Suharso Monoarfa selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengaku ragu jika banyak kelas menengah di Indonesia yang jatuh miskin. Dia mengklaim yang terjadi hanyalah pergeseran pola kerja yang membuat mereka tidak tercatat dalam statistik.
"Yang mungkin buat saya adalah terjadi migrasi dari mereka yang bekerja di sektor formal, sekarang bekerja sendiri, menjadi self-employee," ujar Suharso.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement