Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengupas Dampak Skema Power Wheeling Kelistrikan

Mengupas Dampak Skema Power Wheeling Kelistrikan Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam sebuah diskusi di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2024). | Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penerapan skema power wheeling kelistrikan dan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) mendapat kritikan dari berbagai pihak. Bukan tanpa alasan, metode tersebut dinilai memiliki dampak negatif bagi masyarakat.

Power wheeling dianggap membuka peluang seluas-luasnya bagi pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjualnya langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.

Pemerintah dan DPR diminta untuk mempertimbangkan dengan matang penerapan skema ini. Jika tetap memaksakan skema tersebut, setidaknya harus ditimbang secara serius agar dampak negatifnya terhadap masyarakat dapat diminimalkan.

"Terlepas apakah relevan dengan kepentingan negara, BUMN, dan rakyat, salah satu norma penting yang akan diatur dalam EBET adalah tentang skema power wheeling. Minimal, norma hukum skema tersebut dapat ditetapkan tanpa merugikan negara, BUMN, dan rakyat," kata Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam sebuah diskusi di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2024).

Skema power wheeling kelistrikan memang sangat menjanjikan bagi pengusaha swasta. Oleh karena itu, pola ini digunakan untuk menarik para investor agar misi pemerintah menekan emisi karbon dapat tercapai pada 2060 mendatang. Misi pemerintah menekan emisi karbon perlu disambut baik, namun mekanisme untuk mencapai target tersebut harus melalui proses yang benar, jangan sampai tujuan mulia tersebut justru mengorbankan rakyat.

Marwan mengatakan, pemenuhan target permintaan energi, investasi, net zero emission, ketahanan energi, dan pembangunan nasional harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik, dan berbagai kepentingan strategis nasional.

Baca Juga: Luhut Klaim Indonesia Sukses Daur Ulang Baterai Mobil Listrik hingga 99,5%

"Kita sangat prihatin dengan pendekatan-pendekatan anti demokrasi, anti keadilan, yang melanggar asas-asas moral, dan anti konstitusi atau UU yang berlaku, baik dalam proses pembentukan (formil) maupun dalam menetapkan norma RUU EBET (materil). Belajar dari praktik yang telah berlangsung selama ini, pendekatan kekuasaan oligarkis yang diduga sarat KKN telah banyak melanggar prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara," ucapnya.

Menurut Marwan, apabila skema power wheeling tetap dipaksakan tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya, maka hal itu justru mencederai konstitusi. Undang-undang EBET yang dihasilkan akan cacat karena berbagai tindakan inkonstitusional.

"Kita berharap DPR dan pemerintah akhirnya bisa segera menghasilkan UU EBET yang sesuai konstitusi, kepentingan stakeholders energi/listrik, dan pemenuhan kebutuhan energi bersih berkelanjutan ke depan," ujarnya.

"Sesuai nama, UU EBET harus memuat ketentuan atau norma energi, energi baru, energi terbarukan, dan aspek-aspek terkait lainnya. Sehingga, terbangun dan tersedia energi yang dapat memenuhi permintaan secara efektif, efisien, andal, berkelanjutan, dengan emisi karbon minimal, transisi energi berlangsung mulus, dan ketahanan energi nasional pun tercapai," tambahnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bakhtiar, mengatakan skema power wheeling jelas tidak bisa diterapkan dalam RUU EBET.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, salah satunya adalah potensi kerugian negara. Selain itu, penerapan skema ini juga dinilai hanya akan memicu kenaikan tarif listrik dan menambah beban subsidi APBN. Bisman Bakhtiar juga menilai penerapan skema power wheeling dalam RUU EBET hanya akan melemahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan membuka pintu masuk bagi oligarki.

"Pengaturan power wheeling dan RUU EBET merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan," ujarnya.

Di tempat yang sama, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menilai skema power wheeling dalam RUU EBET hanya sebuah jebakan. Lagi pula, skema ini tidak penting untuk dimasukkan dalam RUU EBET, sebab power wheeling sudah ada dalam Permen ESDM No. 1 Tahun 2015.

"Tanpa adanya insentif pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijamin dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030," ujarnya.

Dia melanjutkan, dalam RUPTL yang paling hijau itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW. Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alami bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen.

"Ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak," ucapnya.

Baca Juga: Lakukan Stratifikasi, Pemerintah Sebut Tarif Listrik Enggak Naik

Abra menambahkan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara suplai dan permintaan listrik, di mana diproyeksikan oversupply listrik pada tahun 2022 saja akan menyentuh 6-7 GW.

Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi semakin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW.

Kondisi besar oversupply listrik tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik di mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4% per tahun. Namun, realisasinya selama 2015-2023 rata-rata hanya 4,3% per tahun.

Tidak hanya itu, dampak skema power wheeling juga akan meningkatkan risiko oversupply listrik akibat tergerusnya permintaan listrik PLN, baik permintaan organik maupun non-organik.

"Risiko melonjaknya oversupply listrik sebagai implikasi skema power wheeling selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan oleh pembayar pajak melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW," tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: