Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi (power wheeling) dapat mempercepat akselerasi energi baru terbarukan di tanah air. Meski begitu IESR menekankan pentingnya mekanisme yang sesuai sehingga Perusahaan Listrik Negara (PLN) mendapat kompensasi wajar dan namun tetap kompetitif dari segi keekonomian.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi di IESR, mengungkapkan kebutuhan industri terhadap energi terbarukan meningkat seiring dengan tuntutan pasar internasional dengan berbagai kebijakan pengetatan emisinya. Tuntutan ini akan semakin ketat, mengisyaratkan bahwa kebutuhan energi terbarukan juga dapat meningkat lebih cepat dalam waktu dekat. Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan solusi yang menjawab kebutuhan tersebut, menimbang lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia dan tren target bauran energi terbarukan yang belum tercapai.
“Kepastian akan akses yang luas terhadap energi terbarukan perlu segera disediakan untuk menjawab kebutuhan industri, baik melalui power wheeling, atau mekanisme lainnya. Perusahaan multinasional terutama yang tergabung dalam grup RE100, sudah banyak menargetkan 100 persen penggunaan energi terbarukan paling lambat pada 2050. Kepastian akses terhadap listrik energi terbarukan akan membantu perusahaan tersebut dalam memenuhi target dekarbonisasi, termasuk melalui elektrifikasi rantai pasoknya,” papar Deon di Jakarta, Rabu (25/9/2024).
Deon menegaskan, mekanisme power wheeling ini perlu disesuaikan dengan konteks Indonesia dengan tujuan penyediaan energi terbarukan dan mengoptimalkan penggunaan jaringan listrik yang ada. Untuk itu, diperlukan mekanisme yang memberikan kompensasi yang wajar kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pemilik jaringan, namun tetap kompetitif bagi konsumen energi terbarukan, seperti perusahaan anggota RE100 yang memiliki komitmen menggunakan 100 persen energi terbarukan.
His Muhammad Bintang, Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik, IESR, menambahkan bahwa penggunaan jaringan listrik yang ada melalui skema power wheeling dapat menjadi strategi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. Skema ini membuka peluang bagi partisipasi swasta sehingga proyek energi terbarukan dapat direalisasikan lebih cepat dibandingkan dengan proses yang selama ini masih tersentralisasi.
Baca Juga: Skema Power Wheeling Temui Jalan Buntu, Pembahasan RUU EBET Dilanjutkan Tahun Depan
“Partisipasi pasar dan swasta diperkirakan akan meningkatkan daya saing biaya listrik dan mendorong pengembangan ekosistem teknologi energi terbarukan dalam negeri. Namun, salah satu tantangan yang harus diperhatikan adalah potensi kelebihan kapasitas (overcapacity) pembangkit listrik, baik yang sudah ada maupun yang sedang direncanakan, yang tidak terserap oleh konsumen. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa mekanisme power wheeling ini dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan konsumen, khususnya sektor industri yang membutuhkan label hijau untuk meningkatkan daya saing produk mereka di pasar ekspor,” tegas Bintang.
Menurut Bintang, regulasi yang lebih rinci terkait power wheeling juga perlu segera disusun, termasuk aturan pembatasan skema hanya untuk energi terbarukan, besaran wheeling charge (biaya penggunaan jaringan), serta strategi penguatan jaringan listrik. Skema ini juga dapat diterapkan secara bertahap untuk menguji efektivitasnya dan menyempurnakan kebijakan terkait.
IESR menilai, dengan adanya klausul pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau power wheeling dalam RUU EBET, maka dapat mengurangi keraguan industri akan ketersediaan akses energi terbarukan. Sehingga, Indonesia akan berada di jalur yang tepat untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target bauran energi terbarukan yang lebih ambisius, mendukung upaya global dalam memitigasi perubahan iklim.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement