Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tantangan Industri Sawit dalam Hadapi La Nina, Bakal Pengaruhi Harga CPO?

Tantangan Industri Sawit dalam Hadapi La Nina, Bakal Pengaruhi Harga CPO? Kredit Foto: Antara/Yudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Industri sawit dalam negeri kini kembali dihadapkan dengan tantangan lain berupa kedatangan La Nina mulai Agustus 2024 ini.

Masuknya La Nina ke Indonesia telah diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Menurut BMKG, La Nina berpotensi terjadi pada Agustus – Oktober 2024 ini.

Baca Juga: Kementan: Integrasi Sawit dan Padi Gogo Miliki Beragam Potensi dan Keuntungan

Sebagai informasi, yang dimaksud La Nina yakni fenomena ketika suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normal sehingga mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di Indonesia.

Menanggapi fenomena La Nina, Eddy Martono selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjelaskan jika La Nina bakal berpengaruh pada tahapan evakuasi Tandan Buah Segar (TBS) di perkebunan sawit.

"Yang pasti evakuasi TBS terganggu, apalagi kalau terjadi banjir otomatis akan menghambat transportasi. Sehingga ada kemungkinan terjadi penurunan produksi. Penurunan berapa persen tergantung dengan kondisi masing-masing daerah," jelas Eddy, dikutip Warta Ekonomi, Senin (5/8/2024).

Kendati demikian, dia mengungkapkan bahwa La Nina tidak serta merta meningkatkan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar global sehingga tidak bisa menjadi katalis pertambahan pendapatan bagi sejumlah perusahaan sawit yang terdampak. 

"Dapat mengerek harga apabila menyebabkan supply (pasokan) minyak sawit berkurang di pasar ekspor, kalau La Nina terjadi maka perusahaan pun biasanya terdampak karena produksi terganggu jadi tidak otomatis harga naik kemudian pendapatan perusahaan juga naik," ujar Eddy.

Senada, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan La Nina dengan tingkat ekstrem juga bisa berpengaruh pada penurunan produksi TBS. 

Baca Juga: Kebun Sawit Masyarakat Dibangun di Merauke, Akses Jalan Dibuka

Apabila akhir tahun ini La Nina yang terjadi cukup ekstrem, jelas Tungkot, maka hal itu bisa berdampak pada penurunan produksi akibat genangan, banjir, dan gangguan panen atau pengangkutan TBS dari kebun ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

"Untuk memitigasi La Nina maupun El Nino, dalam jangka pendek hingga menengah perlu perbaikan water manajemen seperti embung-embung untuk menyimpan kelebihan air pada musim La Nina untuk dipergunakan pada musim El Nino," kata Tungkot.

Akan tetapi, sambungnya, apabila La Nina tahun ini berada pada tipe moderat, maka justru fenomena tersebut akan berdampak positif bagi peningkatan produktivitas.

Baca Juga: Pengolahan dan Teknologi Sawit Indonesia Bikin Peneliti Finlandia Kagum

"Memang tergantung intensitas La Nina. Tapi La Nina sampai level moderat apalagi terjadi pada musim pemupukan yaitu Oktober- Desember akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas sawit. Meskipun dampaknya baru terasa pada semester 1 tahun 2025," tambahnya. 

Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, menjelaskan bahwa La Nina adalah salah satu faktor dinamika iklim yang mau tidak mau harus dihadapi.

"Dinamika ini hanya berlangsung 1 sampai 3 bulan maka kepada produktivitas produksi TBS tidak akan berpengaruh nyata. Yang dipengaruhinya secara langsung adalah aktivitas panen menjadi terganggu. Seperti panen terganggu karena hujan, jalan jadi rusak, jembatan dikebun banyak rusak dan lain sebagainya," ungkapnya. 

Apabila terjadi penurunan produksi TBS di semester kedua ini, sambungnya, khususnya TBS dari petani,  itupun lantaran dipengaruhi oleh beberapa hal.

Misalnya dampak aktivitas agronomi 2 tahun silam yang mana petani sejak tahun 2021 hingga 2023 cenderung tidak melakukan pemupukan karena harga pupuk naik secara signifikan.

Sementara itu, penyebab kedua yakni target Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebesar 2,8 juta hektare hanya mencapai 330 ribu hektare atau sekitar 11% dari total target pemerintah.

Baca Juga: Petani Sawit Mengaku Tak Legowo dengan Tugas Baru BPDPKS

"Intinya adalah produksi TBS yang hubungannya ke produksi CPO Indonesia permasalahannya ada di kebun petani. Dimana protas CPO nya masih 20-30% dari potensi," ucap dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: