Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengolahan dan Teknologi Sawit Indonesia Bikin Peneliti Finlandia Kagum

Pengolahan dan Teknologi Sawit Indonesia Bikin Peneliti Finlandia Kagum Kredit Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengaku jika saat ini dirinya sedang mengembangkan teknologi baru dalam pengolahan industri sawit melalui Degummed Palm Mesocarp Oil (DPMO). Menurut dia, melalui metode anyar tersebut, maka cara lama bakal ditinggalkan lantaran metode baru ini lebih menghasilkan sedikit emisi dalam proses minyak nabati sawit.

"Selama ini pakai wet process atau sterilisasi, ini menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Ini saya rubah sehingga terjadi dry process namanya, pasteurisasi emisi karbon rendah, saya usulkan dry process tandan buah segar jadi DPMO bukan CPO. DPMO kualitas lebih bagus jadi ngga ada namanya crude karena identik dengan jelek, karena sudah 100 tahun ngga ada perubahan," kata Sahat, Jumat (2/8/2024).

Selain itu, Sahat menilai harga DPMO nanti bisa dijual lebih tinggi. Adapun perbedaan harga antara DPMO ke CPO berkisar di antara USD 10/tonnya. Sehingga, harga tandan buah segar (TBS) yang dibeli dari petani juga otomatis terangkat naik. 

Selain itu, adanya inovasi DPMO ini juga berpotensi bagi petani untuk mengolah hasil TBS-nya karena kapasitas teknologi ini jauh lebih kecil daripada milik banyak perusahaan besar.

"Saya yang kembangin, jadi bisa digunakan banyak pihak, saya nggak peduli gimananya yang penting saya ingin petani nggak lagi bergantung ke perusahaan besar atau selama ini disebut pabrik kelapa sawit (PKS) yang kapasitasnya ini biasa gede-gede 30, 60,90 ton per jam. Tapi nantinya bisa lewat Pamer atau pabrik minyak sawit emisi karbon rendah kapasitasnya cuma 5,10,20 ton, kenapa kecil? karena saya mau taruh di petani, ongkos murah, jarak dekat" kata Sahat.

Untuk memproduksi CPO, jelasnya, petani harus rela merogoh kocek besar agar bisa mengirimkan TBS-nya ke banyak pabrikan sawit. Hal ini dikarenakan jarak antara kebun dan pabrikan sawit yang cukup jauh bahkan menempuh puluhan kilometer.

Baca Juga: Petani Sawit Indonesia Tidak Sadar dengan Tingkah Uni Eropa yang Jegal Industri Sawit

"Sekarang mereka ada yang 60 km ada 80 Km ada 50 Km, rata-rata saya hitung 60 km. Ongkosnya Rp 8/Kg/Km berarti Rp 480 untuk ongkos setiap Kg. Nah ini cuma 15 x 8 bayangkan 5-6x lipat itu, yang saya usulkan, tapi pemerintah nggak tau kenapa jadi belum (didukung," kata Sahat.

Upaya Sahat dalam mengembangkan inovasi teknologi DPMO ini alhasil menarik perhatian banyak pihak. Salah satunya Senior Research Fellow University of Turku Finlandia, Erja Kettunen-Matilainen.

Erja mengungkapkan jika pihaknya akan meneliti perkembangan sawit di Indonesia, khususnya pengembangan teknologi yang dilakukan oleh para pelaku sawit di Indonesia sendiri.

Menurut Erja, inovasi teknologi yang dilakukan oleh Sahat sangat inovatif. Dirinya pun mengaku banyak tahu tentang sejarah dan teknologi, kimia, dan semua seluk beluk sawit.

"Semuanya pada dasarnya digabungkan. Dan, berdasarkan itu, dia menciptakan semacam model bisnis juga tentang bagaimana itu harus disusun secara terstruktur dan siapa yang harus terlibat dan seterusnya. Jadi saya pikir itu benar-benar membuat saya kagum dan membuka mata saya. Jadi, pada dasarnya itu sangat positif," jelas Erja.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: