Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta kepada pihak terkait untuk segera melakukan penataan secara serius terhadap pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun agar tidak merugikan PKS yang bermitra.
Menurut Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, banyaknya PKS tanpa kebun tersebut akan berdampak secara serius apabila tidak segera ditangani dan ditata ulang. Dampak tersebut antara lain bisa merusak kemitraan yang sudah ada antara perusahaan dan petani.
Baca Juga: BRIN Berkarya, Limbah Kelapa Sawit Disulap Jadi Emas Hijau
"Kami tidak menentang hadirnya pabrik kelapa sawit tanpa kebun di sekitar sentra perkebunan sawit. Hanya saja, pendirian PKS tersebut harus ditata," kata Eddy Martono dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, (10/8/2024).
Kendati demikian, dirinya juga mengingatkan agar pihak-pihak terkait memastikan bahwa pemberian izin pabrik tanpa kebun harus melihat kondisi di lapangan terlebih dahulu.
Apabila kondisi di lapangan ternyata tidak membutuhkan lagi, sambungnya, maka sebaiknya tidak dikeluarkan izin karena di lokasi sudah ada pabrik perusahaan yang sudah bermitra.
Pabrik tanpa kebun tersebut, sambung Eddy, selama ini kerap kali bersinggungan dengan PKS bermitra. Dus, hal tersebut membuat para petani sawit mitra diam-diam menjual tandan buah segar (TBS) nya kepada PKS berondolan.
Baca Juga: Potensi Limbah Sawit Jadi Biochart, Indonesia Bisa Raup Rp350 Triliun!
Selain itu, dampak negatif lainnya adalah PKS tanpa kebun membuat rendemen TBS perusahaan menjadi merosot. Pasalnya, banyak petani yang menjual TBS nya justru tanpa berondolan ke PKS mitranya.
"Nah, PKS berondolan ini juga menyebabkan rendemen kita turun karena berondolannya tidak ada. Padahal berondolan itu untuk menghitung penetapan harga. Jadi sekarang serba susah," katanya.
Baca Juga: Target 60.000 Ha Peremajaan, Begini Cara PalmCo Gandeng Semua Petani Sawit Indonesia
Lebih lanjut, dirinya juga mengaitkan keberadaan PKS tanpa kebun ini dengan adanya dugaan upaya mengakali pajak ekspor sawit. Sebabnya, hasil olahan berondolan akan berbentuk Palm Oil Mill Effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit. Sehingga, pungutan ekspor POME ini tentunya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ekspor dalam bentuk minyak sawit mentah (CPO).
"Sekarang itu ekspor POME, limbah cair yang tadinya 200 ribu ton per tahun, naik jadi hampir 2 juta ton. Setelah diselidik-selidik ada permainan di situ," katanya dalam seminar “Kemana Arah Kemitraan Sawit?” di ajang Sawit Indonesia EXPO 2024 di Pekanbaru Riau 8-10 Agustus 2024.
Baca Juga: Dari Naik Pesat Jadi Turun, Ada Apa dengan Ekspor Lidi Nipah dan Lidi Sawit Indonesia?
Ternyata, lanjutnya, levy atau pungutan ekspornya POME hanya 5 dolar AS, sementara PE dan BK (CPO) itu hampir 150 dolar AS per ton. Dia mengungkapkan POME yang diekspor tersebut untuk bahan baku energi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement