Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) dengan tegas menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, organisasi yang mewakili sekitar 3,1 juta petani tembakau di seluruh Indonesia tersebut menyatakan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak buruk bagi kelangsungan hidup petani tembakau, tetapi juga berpotensi memperburuk kondisi ekonomi nasional, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Ketua Umum DPN APTI, Agus Parmuji, menyebutkan bahwa kebijakan yang tertuang dalam PP 28 Tahun 2024, khususnya dalam Pengaturan Zat Adiktif (Pasal 429–463), memperkuat kekhawatiran petani tembakau akan masa depan mereka.
“PP 28 Tahun 2024, khususnya ruang lingkup Pengaturan Zat Adiktif (Pasal 429–463) isinya yang restriktif semakin mendekatkan kiamat bagi petani tembakau. [Sehingga] niat pemerintah yang ingin membunuh nafas petani tembakau sebagai soko guru di negeri ini semakin nyata,” tulis Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji.
Dalam lima tahun terakhir, petani tembakau telah merasakan dampak langsung dari kebijakan yang tidak berpihak, mulai dari penurunan harga panen, keterlambatan penyerapan hasil panen, hingga kenaikan cukai yang terus membebani.
“Tahun 2020 cukai naik 23 persen, tahun 2021 naik 12,5 persen, tahun 2022 naik 12 persen, tahun 2023 dan 2024 naik 10 persen. Bagi petani tembakau, kenaikan cukai yang eksesif dalam lima tahun terakhir itu semakin mendekatkan mereka dalam jurang kematian,” tegas Agus.
Agus juga menjelaskan bahwa sekitar 95 persen tembakau di Indonesia diserap oleh pabrikan rokok dalam negeri.
Namun, kebijakan cukai yang memberatkan dan peraturan lainnya menyebabkan penurunan signifikan dalam pembelian tembakau oleh pabrik-pabrik, yang pada akhirnya berdampak buruk pada para petani.
Jika tren ini terus berlanjut, tidak hanya petani yang akan merasakan dampaknya, tetapi juga pekerja yang terlibat dalam rantai industri tembakau.
Potensi Penurunan Penyerapan Tenaga Kerja
Penolakan terhadap PP Kesehatan ini juga didorong oleh kekhawatiran akan penurunan penyerapan tenaga kerja.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang, meningkat 21,4 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, proporsi pekerja informal di Indonesia saat ini tercatat 59,17 persen, naik dibandingkan Agustus 2019 yang sebesar 55,88 persen.
Banyaknya pekerja informal menunjukkan besarnya jumlah angkatan kerja yang tidak terserap oleh lapangan kerja formal. Sektor tembakau, yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja besar di pedesaan, kini terancam semakin terpuruk.
Hal ini berpotensi memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, mengingat pekerja informal lebih rentan terhadap ketidakpastian penghasilan dan minimnya akses terhadap asuransi serta modal usaha.
Dengan kondisi demikian, DPN APTI berharap agar pemerintahan mendatang, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dapat merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada petani tembakau dan tenaga kerja di sektor ini.
Mereka berharap kebijakan di masa depan akan melindungi dan mendukung keberlangsungan ekonomi petani tembakau serta mengamankan lapangan kerja bagi jutaan orang di Indonesia.
“Kami sangat berharap, pemerintahan mendatang semoga memiliki iktikad baik dengan merumuskan dan membuat kebijakan yang melindungi dan memerdekakan kelangsungan ekonomi petani tembakau di Indonesia,” tutup Agus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Advertisement