Kalangan pengusaha dan pelaku industri kreatif menolak Pasal 449 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang mengatur zonasi pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Dirancang tanpa melibatkan para pengusaha dan pelaku industri, membuat aturan ini berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri periklanan maupun sektor turunannya. Bisa jadi, tujuan menekan prevalensi perokok tak tercapai, dan malah menambah pengangguran baru.
Hal itu mengemuka di dalam diskusi bertajuk Kontroversi Pasal Larangan Media Luar Ruang 500 Meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak di PP nomor 28 Tahun 2024, di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Baca Juga: Aturan Ketat Rokok Masih Belum Ideal, Terganjal Banyak Masalah
“Kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), karena ini menjadi efek domino, salah satunya ke industri kreatif kelas menengah ke bawah. Jadi, dampaknya cukup signifikan,” kata Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi.
Pria yang akrab disapa Fabi ini bahkan sudah membuat simulasi jika PP 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. Turunan PP ini, menetapkan aturan ketat untuk iklan produk tembakau dan rokok elektronik. Berdasarkan Pasal 449 ayat (1), iklan tidak boleh dipasang di area sensitif seperti fasilitas kesehatan, tempat pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Hasilnya, dari 57 perusahaan yang tersebar di 26 kota, terdampak dengan regulasi ini. Bahkan industri yang 75 persen mengandalkan produk rokok, sebanyak 25 persen perusahaan diprediksi langsung bangkrut.
“Contohnya di Bali, sudah ada laporan, ada festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor rokok. Pengiklan tidak berani, karena takut melanggar PP 28,” katanya.
Fabi bahkan mengungkapkan, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi tersebut. Padahal, ketika PP itu masih dalam bentuk rancangan (RPP), industri media luar sudah terdampak. Pasalnya, kontribusi sponsor rokok cukup besar.
Fabi mengamini, PP ini sudah jadi. Harapannya saat ini adalah agar penerapannya ditunda dan di masa penundaan itu, melibatkan pihak pengusaha untuk diterima masukannya. “Kami minta direvisi, paling simple kembali ke Peraturan 109,” sebutnya.
Peringatan Fabianus diamini oleh Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Heri Margono. Harapannya, regulasi ini ditunda dahulu penerapannya. Asumsinya, sebuah regulasi itu harus memenuhi dua kriteria. Pertama, harus mempertimbangkan keadilan. Kedua, mengedepankan efisiensi.
“Keduanya tidak gampang. Mestinya melibatkan pihak terlibat supaya menjadi efisien, dan adil. Di PP ini ada yang merasa ketidakadilan,” kata Heri.
Mengutip data Nielsen tahun 2019, rokok adalah kategori produk yang paling banyak diiklankan di media luar ruang dengan lebih dari 1.000 titik yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
“Jika dijalankan, larangan iklan ini berpotensi menekan pendapatan media luar ruang yang bergantung dari promosi produk rokok. Kerugian besar tidak hanya timbul dari biaya langsung industri, tetapi juga biaya tidak langsung seperti pembuatan materi dan iklan promosi,” ucap dia.
Sementara, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono menyarankan, agar regulasi ini direvisi. “Kalau tidak bisa dibatalkan, bisa diundur. Ditunda pelaksanaannya. Kita harapkan Pemerintah mau menampung,” kata Sutrisno.
Baca Juga: Pedagang Pasar: Zonasi Larangan Penjualan Rokok Mustahil Dilaksanakan
Sebagai asosiasi multisektor, APINDO mengamini banyaknya masukan tentang PP 28/2024. Sebelum periklanan, tembakau lebih dahulu, kemudian pelaku makanan dan minuman juga perdagangan, semua mempunyai keluhan yang sama.
Bahkan, Sutrisno mengaku tidak pernah diajak pemerintah untuk membahas regulasi itu. Sehingga, regulasi tersebut kini menjadi persoalan dan akhirnya tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, pelarangan rokok, nyatanya rokok ilegal jalan terus, industri rokok terdampak, resapan turun, ujungnya PHK.
“Kita bicara iklan punya dimensi. Iklan tidak berdiri sendiri. Semua akan terkena. Seharusnya, pemerintah melakukan kajian komprehensif, bisa menampung berbagai pihak. Pandangan konsumen seperti apa? Perlu dikaji juga,” sarannya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Advertisement