Hanif cenderung skeptis dengan mekanisme pembiayaan IKN yang diklaim tidak melemahkan sistem fiskal di Indonesia. Pasalnya, megaproyek tersebut masih belum bisa menarik pemodal besar untuk bisa terjun langsung dalam proses pembangunan karena tidak bisa mengandalkan seutuhnya pada APBN atau BUMN dan BUMD.
“Akan tetapi, sampai saat ini, kita belum menemukan satu investor swasta yang mumpuni untuk membiayai atau mendukung pembangunan ini. Karena dulu katanya ada Softbank, tapi kemudian dia udah cabut duluan dari proyek ini, sehingga (sampai sekarang) tidak ada satu investor terkemuka,” papar Hanif.
Baca Juga: Syarat Mutlak Prabowo Bisa Capai Pertumbuhan Ekonomi 8%: Kalau Gagal, Lupakan Saja
Berdasarkan hitungan dari CELIOS, indikator progress pembangunan IKN menujukkan lebih banyak kemungkinan pembangunan yang tidak berdampak signifikan atau bahkan gagal. Alih-alih mendulang keberhasilan.
Terakhir, CELIOS mencatat bahwa ruang fiskal pemerintah Indonesia untuk berbagai inisiatif berkelanjutan kian terhimpit dengan berbagai program ambisius dan proyek besar pada pemerintahan mendatang.
Misalnya, proyek kereta cepat yang nyatanya membebani anggaran negara, ditambah rencana pembangunan rute terusan dari Jakarta hingga Surabaya yang juga menghadapi risiko institusional dan ekonomis. Selain itu, terdapat program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Reformasi Fiskal Keseluruhan
Dengan kondisi tersebut di atas, Hanif menyebut ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk segera mereformasi secara keseluruhan sektor ekonominya. Langkah ini dinilai perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan fiskal pada masa depan.
“Perubahan mendasar dalam alokasi anggaran dan pengelolaan prioritas anggaran sangat penting, agar Indonesia dapat keluar dari himpitan fiskal dengan lebih baik,” terang Hanif.
Adapun dalam laporan tersebut, pihaknya mengusulkan adanya serangkaian reformasi fiskal. Misalnya pengenaan pajak bagi orang super kaya, penerapan insentif pajak yang lebih inklusif, perbaikan kualitas belanja negara melalui redesain postur APBN, hingga penguatan belanja kesehatan serta perlindungan sosial.
"Intervensi komprehensif dan progresif diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan ekonomi Indonesia tetap tangguh dalam menghadapi tantangan di masa depan," ujarnya.
Atas kondisi tersebut yang membuat Indonesia harap-harap cemas, Media berharap pemerintahan baru di bawah nahkoda Prabowo Subianto tidak ‘melanjutkan’ kebijakan pemerintahan Jokowi secara serta-merta. Alih-alih demikian, dia berharap Prabowo bisa melakukan perubahan ekonomi yang signifikan.
“Jika tidak berubah, hari ini Indonesia belum mencapai negara gagal, tetapi kita bisa menjadi negara gagal kalau seandainya fondasi yang lemah-rentan di masa Jokowi ini dilanjutkan begitu saja oleh pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement