Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketergantungan Beras Bikin Indonesia Rentan Krisis Pangan

Ketergantungan Beras Bikin Indonesia Rentan Krisis Pangan Kredit Foto: Uswah Hasanah
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lonjakan harga beras yang bertahan sejak 2022 hingga 2025 menjadi sinyal rapuhnya ketahanan pangan Indonesia. Pemerintah masih bergantung pada beras sebagai indikator utama, padahal sumber pangan lokal di berbagai daerah menyimpan potensi besar yang belum dikembangkan.

Menurut ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, kebijakan pangan terlalu sempit karena hanya menitikberatkan pada cadangan beras. 

“Harga beras makin naik, berbanding terbalik dengan klaim surplus. Bahkan kebijakan food estate pun tidak menjawab masalah. Ambil contoh di Merauke, Papua, harga beras tetap naik,” ujar Bhima dalam diskusi media bertajuk Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim, di Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Baca Juga: Presiden Prabowo Tekankan Percepatan Program Prioritas untuk Perluasan Lapangan Kerja

Harga beras di pasar tradisional kini menembus rata-rata Rp15.000/kg, naik dari sebelumnya di bawah Rp12.500/kg. Di sisi lain, impor pangan dan pupuk meningkat sejak 2012 hingga 2024. 

“Indonesia terus mengimpor pupuk yang tujuannya untuk meningkatkan produksi beras, tapi impor pangan juga naik. Artinya, kebijakan impor pupuk tidak berujung pada peningkatan produksi pangan,” jelas Bhima.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas panen padi di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi berkurang sejak 2021. Tren ini diperburuk ketidakpastian iklim pascapandemi. 

“Indonesia adalah produsen beras, tapi juga importir besar. Jadi produsen tapi malah impor, duitnya jelas tidak kembali ke masyarakat,” kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRPP), Ayip Said Abdullah.

Indeks Kelaparan Global (GHI) menambah ironi tersebut. Pada 2022, Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi di Asia Tenggara dengan skor 17,9. Tahun 2023, posisinya naik ke urutan kedua dengan skor 17,6. 

“Di pedesaan, terutama wilayah timur Indonesia, kelaparan lebih tinggi dibanding perkotaan,” ujar Ayip.

Masalah struktural lain muncul dari sisi lahan. Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, mencatat penurunan luas baku sawah hingga 79 ribu hektare pada 2019–2024. Konversi lahan akibat pembangunan infrastruktur, perumahan, sawit, dan tambang memperparah konflik agraria. 

Baca Juga: Percepat Program, Pemerintah Fokus pada Dua Agenda Besar Sektor Pangan

“Sebanyak 62% petani Indonesia kini berstatus gurem dengan lahan di bawah setengah hektare,” ungkap Benny.

Bhima menekankan, ketergantungan berlebihan pada beras menciptakan kerentanan serius. Padahal, 23.472 desa memiliki potensi menjadi basis produksi pangan restoratif tanpa merusak alam. 

Alternatif lain datang dari 14,88% desa yang berbatasan dengan laut dan 24,11% desa yang berbatasan dengan kawasan hutan. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk pangan, ikan, hingga obat-obatan.

“Kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika tanah kembali ke tangan petani, pangan lokal diberi tempat, dan kebijakan tidak lagi terpusat pada beras,” tegas Benny.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: