Rancangan Permenkes Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dinilai Bakal Perparah Gelombang PHK
Kekhawatiran akan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran semakin mencuat seiring dengan rencana pemerintah menerapkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang kemasan rokok polos tanpa merek. Kebijakan ini, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, dianggap dapat memicu krisis ekonomi di sektor industri hasil tembakau dan memperparah gelombang PHK yang sudah mulai terjadi di berbagai sektor.
Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi NasDem, Nurhadi, menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi mengancam stabilitas ekonomi nasional. “Industri tembakau selama ini menjadi tulang punggung bagi mata pencaharian banyak pihak—dari pedagang kecil, petani, hingga buruh pabrik. Jika RPMK ini tidak dievaluasi, bisa berdampak pada pengurangan hingga 6 juta pekerja,” kata Nurhadi kepada media, Selasa (22/10/2024).
Industri tembakau bukan hanya menyerap jutaan tenaga kerja, tetapi juga menjadi penyumbang besar bagi pendapatan negara melalui cukai, yang setiap tahunnya mencapai ratusan triliun rupiah. Nurhadi mengingatkan bahwa keputusan ini tidak hanya berdampak pada industri besar, tetapi juga pada omzet para pedagang kecil yang tergantung hingga 80% pada penjualan produk tembakau.
“Perumusan kebijakan ini harus sangat berhati-hati. Jika tidak, kita bisa melihat peningkatan jumlah pengangguran dan ancaman terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan,” ujarnya.
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI) juga telah menggelar aksi protes di depan kantor Kementerian Kesehatan, menolak kebijakan RPMK ini. Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menilai bahwa kebijakan tersebut akan memicu peningkatan produk rokok ilegal yang justru akan merugikan pabrik-pabrik rokok legal.
Baca Juga: Serikat Pekerja Tembakau Tolak Kebijakan Kemasan Rokok Polos, Khawatirkan PHK Massal
“Rokok ilegal akan tumbuh subur dengan kebijakan ini, dan itu artinya pabrik rokok legal akan melakukan efisiensi pekerja,” ungkap Sudarto. Ia menambahkan bahwa pihaknya sama sekali tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan ini, meskipun telah berupaya mengirimkan surat dan mengajukan audiensi.
Sudarto menegaskan bahwa aksi penolakan akan terus berlanjut hingga kebijakan tersebut dicabut. “Kalau pekerja terus dikorbankan dan tidak ada solusi, kami akan datang lagi dengan massa yang lebih besar, atau bahkan mogok kerja,” tegasnya.
Nurhadi dan pihak buruh tembakau mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang Rancangan Permenkes tersebut dan mempertimbangkan dampaknya bagi para pekerja dan masyarakat kecil. “Kemenkes harus mendengarkan aspirasi dari pihak-pihak terdampak dan tidak mengambil langkah yang dapat memicu kegaduhan sosial dan ekonomi,” kata Nurhadi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement