Sikapi Prilaku Agresif China di Natuna, Indonesia Dinilai Perlu Perkuat Pertahanan
Indonesia dinilai perlu untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya, khususnya kemampuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) demi menghadapi tantangan yang berkembang seiring dengan meningkatnya sikap asertif China baik di Laut China Selatan (LCS) maupun di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna.
Namun, peningkatan kemampuan pertahanan tersebut diharapkan berjalan seiring dengan peningkatan kemampuan diplomasi untuk mencari solusi demi menjamin stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Kesimpulan di atas dikemukakan baik oleh para tokoh berlatar belakang militer maupun para akademisi dalam seminar bertemakan “Kerentanan Natuna dalam Kompleksitas Ancaman di Laut China Selatan dalam Hubungan Strategis Indonesia – China,” yang diselenggarakan Fakultas Keamanan Nasional (FKN) Universitas Pertahanan (UnHan) bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive) di Jakarta, kemarin.
Baca Juga: PNM Mekaar Hadir di Pulau Natuna, Genjot Inklusi Keuangan di Wilayah 3 T
Dekan Fakultas Keamanan Nasional UnHan Mayjen TNI Pujo Widodo menyatakan bahwa Indonesia perlu mengidentifikasi berbagai bentuk ancaman yang dihadapi. Menurutnya, ancaman tersebut hadir baik dalam aspek meliter maupun non militer.
“Dari segi militer, peningkatan kehadiran militer China di kawasan Asia Tenggara menjadi tantangan langsung bagi kedaulatan Indonesia,” tuturnya. Pujo juga menyampaikan bahwa latihan militer yang dilakukan secara berkala, yang disertai dengan pengiriman armada dari luar kawasan, berpotensi pula menambah ketegangan di kawasan ini.
Menurut dia, tantangan di atas perlu dihadapi dengan langkah-langkah strategis, antara lain dengan meningkatkan kapasitas pertahanan Indonesia, khususnya TNI AL, melalui modernisasai alat utama sistem senjata (alusista) dan pelatihan yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kehadiran armada RI di wilayah Natuna.
Langkah-langkah lain yang penting untuk diambil adalah mempererat kerja sama dengan negara-negara tetangga, serta menjalankan diplomasi proaktif dengan China dan negara lain di kawasan ini.
Sementara itu, mantan Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI (Purn) Marsetyo menegaskan kembali perintah Presiden Prabowo Subianto, agar Indonesia menjadi negara yang kuat, yang bukan hanya melindungi kedaulatan Indonesia, tetapi juga melindungi mineral dan kekayaan alam Indonesia.
Namun, menurutnya, Presiden Prabowo menginginkan agar Indonesia tetap berpegang teguh pada politik bebas dan aktif. “Pak Prabowo memandang semua negara sebagai sahabat asalkan (negara itu) jangan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia,” tegasnya.
Baca Juga: Pesatnya Perkembangan Militer China Dinilai Hadirkan Ancaman bagi Indonesia dan ASEAN
Terkait meningkatnya sikap agresif China di LCS, ketua Dewan Guru Besar UnHan itu menyatakan bahwa salah satu akar permasalahan yang muncul adalah ketidaktaatan China pada UNCLOS meskipun negara itu meratifikasi hukum laut internasional itu.
“UNCLOS 1982 merupakan pegangan bagi negara-negara anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara), tetapi tidak menjadi pegangan bagi China,” paparnya.
Dalam pandangannya, situasi di LCS makin mengemuka setelah pemerintahan China pada 2023 memperluas garis putus-putus berbentuk U yang sebelumnya dikenal dengan istilah sembilan garis putus-putus menjadi sepuluh garis putus-putus.
Menurutnya, berbekal sepuluh garis putus-putus tersebut, China mengakui sekitar 83 ribu km2 ZEE Indonesia sebagai ZEE China. “Wilayah seluas itu setara dengan dua setengah kali lipat pulau Bali,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement