Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sikapi Prilaku Agresif China di Natuna, Indonesia Dinilai Perlu Perkuat Pertahanan

Sikapi Prilaku Agresif China di Natuna, Indonesia Dinilai Perlu Perkuat Pertahanan Kredit Foto: Istimewa

Sementara itu, Dosen Senior Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo mengungkapkan sikap asertif China yang cenderung mengalami peningkatan dari awal tahun 1970-an hingga tahun 2023 yang lalu. Namun ia juga mempertanyakan apa yang menyebabkan China berkembang menjadi asertif. 

“Bila kita menggunakan peribahasa ‘tak ada asap tanpa api,’ maka yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tindakan asertif China itu asap atau api?" tanyanya.

Bagi Broto, sikap asertif China itu muncul ketika negara-negara lain mengklaim sesuatu yang secara tradisional mereka anggap sebagai milik mereka. Menurut Broto, China merespons klaim negara-negara lain tersebut dengan melaksanakan pendudukan efektif (effective occupation) agar klaim kepemilikan China menjadi valid. 

Dalam pandangannya strategi pendudukan efektif inilah yang menjadi sumber bagi ketegangan yang timbul antara China dan negara-negara lain di kawasan. Meski demikian, Broto berpendapat bahwa China cenderung menerapkan pendekatan dua sisi, antara lain pendekatan yang membuka ruang bagi kerja sama meski di tengah potensi terjadinya konflik. 

Menurut Broto, kerja sama dengan China, yang merupakan salah satu mitra ekonomi terbesar Indonesia, patut untuk terus dipertimbangkan, namun dengan tidak mengkompromikan integritas kedaulatan. 

“Indonesia harus memiliki kapasitas untuk membatasi China, untuk mengatakan tidak pada permintaan China yang tidak sejalan dengan kepentingan Indonesia,” tuturnya. 

Dalam hal klaim wilayah China terhadap ZEE Indonesia di perairan Natuna, Broto beranggapan bahwa Indonesia harus menolak untuk bernegosiasi dengan China, karena ZEE di perairan Natuna adalah milik Indonesia. Broto juga beranggapan bahwa mengajak ASEAN untuk bersama-sama menghadapi China adalah salah satu opsi terbaik yang harus terus dipertahankan. 

Sejalan dengan kedua pembicara di atas, Johanes Herlijanto juga berpandangan bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuan militernya agar menjadi lebih setara dalam berhadapan dengan China di LCS. 

Namun mengutip pandangan seorang ahli Hubungan Internasional Klaus Radityo, Johanes juga mengemukakan bahwa Indonesia harus pula secara konsisten menyatakan keabsahan kepemilikan Indonesia atas ZEE kita di perairan Natuna berdasarkan hukum laut internasional, dalam hal ini UNCLOS. 

Baca Juga: Menyukseskan Transisi Energi, Prabowo Didorong Bersinergi dengan China

Senada dengan Broto, Johanes juga berpandangan bahwa Indonesia perlu mendorong ASEAN agar bersatu padu dalam berhadapan dengan China. Menurutnya, ketiga langkah di atas merupakan langkah yang mendesak dan perlu diambil karena sikap China yang cenderung makin asertif dalam kaitan dengan klaim kepemilikan LCS. 

Menurutnya, sikap asertif tersebut berpotensi untuk semakin meningkat karena pemimpin yang paling berpengaruh di China, yaitu Presiden Xi Jinping, dinilai cenderung memandang isu LCS dalam kerangka kompetitif ketimbang kooperatif. 

Meski demikian, Johanes berpendapat bahwa masih terdapat ruang yang terbuka bagi terciptanya kawasan LCS yang damai. “Bagaimana pun juga, sebagaimana diperlihatkan beberapa pemerhati, pada masa lalu China pernah mengesampingkan isu kedaulatan dan mengedepankan pembangunan kawasan bersama,” tuturnya.

Meski demikian, ia mengingatkan negara-negara Asia Tenggara dan Indonesia untuk tetap berhati-hati karena ketika China mengutamakan kerja sama untuk pembangunan kawasan bersama, mereka tetap menganggap bahwa sebagian besar LCS adalah milik mereka.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri

Advertisement

Bagikan Artikel: