“Jadi mereka itu umumnya untuk bisa patuh (terhadap EUDR) itu, mereka itu membutuhkan dukungan. Mayoritas dukungan itu berupa finansial agar mereka untuk bisa memenuhi aturan tersebut,” ujarnya.
Bahkan, imbuh Fadhil, adanya insentif fiscal dengan kenaikan harga tandan buah segar (TBS) sawit sebesar 22,73 persen atau setara dengan Rp500 per kilogramnya masih belum mampu mendorong para petani untuk bersedia menerapkan regulasi tersebut.
Baca Juga: Optimalkan Tata Kelola, Prabowo Diminta Segera Hadirkan Badan Sawit Nasional
“Hanya 60 persen dari responden yang bersedia untuk mengikuti aturan EUDR dengan besaran insentif tersebut,” jelas Fadhil.
Pihaknya, melalui studi tersebut, juga menemukan bahwa penerapan regulasi itu menyebabkan harga TBS sawit diproyeksikan menurun sebesar 4,9 persen hingga 9,4 persen.
Selain itu, Fadhil mengatakan ada pula potensi peningkatan jumlah petani sawit yang hidup di bawah garis kemiskinan. Yakni sebesar 1,15 persen hingga 10,4 persen.
Maka dari itu, dia menyarankan kepada pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali implementasi dari EUDR, menerapkan harga premium untuk melindungi kesejahteraan petani, memberikan insentif yang baik untuk mereka, serta memastikan kesiapan petani, akses pasar, dukungan regulasi, hingga dukungan pasar internasional sebelum aturan tersebut diterapkan.
Selain itu, menurutnya pemerintah pun perlu memastikan bahwa peta hutan yang dimiliki bisa diterima oleh Uni Eropa untuk menilai apakah terjadi deforestasi di Indonesia atau tidak.
Baca Juga: IPOC 2024: Menguatkan Posisi Kelapa Sawit dalam Pasar Global
“Ketika EUDR ini nanti tahun depan diberlakukan, saya kira kita harus memastikan bahwa kita itu masuk ke dalam lower risk countries dalam hal deforestasi, kemudian juga kita harus memastikan bahwa petani itu tidak tersisihkan dari rantai pasok itu,” imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement