Agresivitas China di Natuna Jadi Tantangan bagi Diplomasi Pertahanan Indonesia-China
Upaya China melakukan diplomasi pertahanan di Asia Tenggara diibaratkan seperti pedang bermata dua. Pada satu sisi, China seolah-olah ingin mempererat kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pada sisi lain, China tetap bersikukuh mengakui sebagian besar Laut China Selatan (LCS) sebagai miliknya dan bahkan cenderung bertindak agresif di wilayah tersebut. China juga tetap bersikeras untuk menyatakan kehadirannya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, yang sejak 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara.
Baca Juga: Sikapi Prilaku Agresif China di Natuna, Indonesia Dinilai Perlu Perkuat Pertahanan
Oleh karenanya, dalam menyambut uluran diplomasi pertahanan China, Indonesia diimbau tetap memperhatikan tantangan-tantangan yang ada. Pandangan di atas mengemuka dalam seminar bertajuk "Diplomasi Pertahanan China di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia,” yang diselenggarakan Program Studi Keamanan Maritime, Fakultas Keamanan Nasional (FKN), Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UnHan RI), bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive) di Jakarta, kemarin.
Dekan FKN Unhan Mayjen Pujo Widodo menyatakan bahwa diskusi mengenai diplomasi pertahanan China dan Asia Tenggara menjadi sangat penting karena saat ini di Asia Tenggara sedang terjadi persaingan sengit antara China dan Amerika Serikat (AS), yang menganggap China sebagai sebuah kekuatan agresif yang ingin merebut kepulauan Paracel dan Spartly yang mereka anggap sebagai daerah tak bertuan.
Untuk mengatasi hal di atas, Indonesia sebenarnya telah mengusulkan ditetapkannya kode perilaku (Code of Conduct) yang bertujuan menahan China agar tidak mengambil wilayah landas kontinen milik negara-negara Asia Tenggara.
“Indonesia selalu mengimbau agar negara-negara Asia Tenggara bersatu, namun sayangnya pada kenyataannya Asia Tenggara tidak bersatu,” tutur Mayjen Pujo Widodo. Ia juga menjelaskan bahwa diplomasi pertahanan pada intinya adalah kerja sama pertahanan yang mencakup menjaga kedaulatan wilayah, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. “Tentara diutus untuk menjaga ketiga hal di atas,” pungkasnya.
Baca Juga: China Berpeluang Buka Keran Investasi Lagi di Jawa Barat
Adanya persaingan antara China dan kekuatan Barat di bawah pimpinan AS itu diamini oleh Ketua FSI Johanes Herlijanto. Menurutnya Indonesia dan Asia Tenggara turut terdampak oleh persaingan kedua kubu tersebut.
Ia menyatakan bahwa kondisi negara negara ASEAN semakin terganggu oleh tindakan China yang dalam sepuluh tahun terakhir makin terlihat agresif. “Baru baru saja, dalam minggu lalu Coast Guard China (CCG) berkali-kali memasuki wilayah juridiksi Indonesia di Natuna, yang puji Tuhan berhasil diusir oleh unsur Bakamla RI,” ujar Johanes.
Dalam pemaparannya, Laksda TNI (Purn) Budiman Djoko Said menyampaikan bagaimana China menggunakan cara memotong habis secara perlahan-lahan, dan semakin hari berubah menjadi semakin ekspansif. Menurut dia, pemimpin China saat ini, Presiden Xi Jinping, menjadikan kekuatan maritim sebagai kepentingan utamanya.
Ia berpandangan bahwa kekuatan laut China saat ini menjadi besar sebagai akibat akumulasi kebijakan-kebijakan maritim mereka sejak zaman Deng Xiaoping. Menurutnya, Indonesia harus mengambil strategi China di atas sebagai pelajaran demi mempertahankan kepentingan maritim Indonesia sendiri.
“Kita harus belajar bagaimana menjadi kekuatan maritim yang besar,” tuturnya. Dia juga menyatakan bahwa tanpa kekuatan maritim, diplomasi menjadi tidak bermanfaat. “Without Maritime Power, jangan coba-coba berdiplomasi,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement