Industri kelapa sawit, khususnya Indonesia dan Malaysia menghadapi tekanan besar dari kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi tersebut mengharuskan produk sawit yang masuk ke Uni Eropa bebas dari jejak deforestasi mulai dari tahap panen hingga ekspor.
Yang mana, seluruh proses tersebut harus terdokumentasi secara rapi dan sesuai dengan standar keberlanjutan tinggi.
Baca Juga: IPOC 2024: Industri Sawit Bersinergi untuk Mendukung Program Biodiesel
“Bagi banyak perusahaan, ini bukan sekadar tantangan administrasi, melainkan peningkatan biaya produksi yang signifikan. Nilai Ekspor Indonesia ke Uni Eropa tercatat mencapai USD 4,4 miliar pada 2023, sekitar 75% dari total ekspornya adalah kelapa sawit. Sementara itu, Malaysia, eksportir utama lainnya, menyumbang sekitar USD 2,5 miliar dan 75% nya terdiri dari kelapa sawit ke Uni Eropa,” ujar Rizal Affandi Lukman, Sekretaris Jenderal Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) pada gelaran Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2024, dikutip Jumat, (8/11/2024).
Menurut Rizal, EUDR membawa dampak yang besar serta kompleks pada industri sawit. Dia merinci, yang pertama regulasi ini akan memaksa perusahaan untuk menerapkan transparansi dalam rantai pasok, menggunakan teknologi seperti analisis data geospasial, pembelajaran mesin, hingga observasi bumi untuk memastikan produk bebas deforestasi.
Selain itu, dampak lainnya juga memperkuat konsentrasi rantai pasok yang mana hanya perusahaan besar yang mampu memenuhi standar tinggi sehingga mendominasi regulasi. Sementara itu, petani kecil berisiko terpinggirkan. Hambatan perdagangan di Eropa juga mendorong banyak perusahaan untuk mulai mengalihkan pasar ke negara-negara lain seperti Tiongkok serta India yang memiliki standar keberlanjutan lebih longgar. Sehingga, hal tersebut memicu pergeseran arus perdagangan global.
EUDR, imbuhnya, menambah beban finansial bagi konsumen serta perusahaan. Yang mana, biaya pemenuhan standar kemungkinan bakal dibebakna ke konsumen khususnya di pasar sensitive harga.
“EUDR juga berpotensi menjadi acuan global, yang mendorong negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat untuk mengadopsi aturan serupa,” jelas Rizal.
Baca Juga: Tak Mau Didikte Asing, Indonesia Bakal Segera Tentukan Harga Sawit
Regulasi tersebut juga berdampak pada skema sertifikasi keberlanjutan seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) yang perlu disesuaikan agar diterima di pasar Uni Eropa. Lebih lanjut, klasifikasi risiko negara dalam EUDR dapat memengaruhi daya saing komoditas dari negara yang dinilai berisiko tinggi dan menimbulkan diskriminasi serta mengurangi pangsa pasar global untuk sawit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement