Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

IACN Akui Ada Kejanggalan dari Data Survei Indikator Politik Soal Pilgub Maluku Utara

IACN Akui Ada Kejanggalan dari Data Survei Indikator Politik Soal Pilgub Maluku Utara Indikator Politik Indonesia | Kredit Foto: Indikator.co.id
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Indonesia Anti Corruption Network (IACN) Igriza Majid angkat bicara soal dugaan rekayasa data survei dari lembaga Indikator Politik Indonesia pada Pilgub Maluku Utara.

Igriza mengakui dirinya sangat meragukan kevalidan hasil survei pimpinan Burhanuddin Muhtadi itu yang menyebutkan Paslon Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe mengungguli tiga Paslon lainnya.

Menurut aktivis anti korupsi asal Maluku Utara itu, keraguan terhadap hasil survei Indikator Politik Indonesia muncul disebabkan terdapat ketidaksesuaian antara angka elektabilitas paslon dengan jumlah responden. 

Baca Juga: Survei CNN Terbaru di Pilgub Kaltim, Rudy Mas'ud-Seno Aji Kalahkan Isran Noor-Hadi Mulyadi

“Dalam hasil survey itu, paslon nomor urut 4 Sherly-Sarbin lebih unggul dengan prosentase 40,7%, disusul paslon nomor urut 1 Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid Ichsan 20,7%. Kemudian Muhammad Kasuba-Basri Salama (MK Bisa) 15,5%; dan Aliong Mus-Sahril Thahir (AM-SAH) 10,4%. Sedangkan responden yang mengaku tidak tahu/rahasia sebesar 12,8 persen. Jumlah ini jika diakumulasikan maka prosentase responden melebihi 100% yakni 100,1%," papar Igriza, Selasa (12/11/2024).

Selain itu, kata Igriza, ada juga ditemukan ketidaksesuaian jumlah akumulasi responden berdasarkan demografi etnis. Ada kurang lebih dari 3 etnis yang akumulasi responden hanya 99,9 % dan ada juga akumulasi etnis yang melebihi 100,1%.

“Misalnya akumulasi yang terdapat pada etnis Galela, untuk Husain-Asrul 14,2% lalu Aliong-Syahril 10,1%, Kemudian MK-BISA 28,0% dan Sherly-Sarbin 37,9% sedangkan responden yang tidak tahu atau yang belum menentukan pilihan sebanyak 9,7%. Jumlah ini jika diakumulasikan maka total responden kurang dari 100% yakni hanya 99,9%,” papar Igriza.

“Persentase yang sama juga terjadi pada etnis Sula, Ternate dan etnis lainnya yaitu hanya 99,9% akumulasi respondennya. Sementara pada etnis Buton, Butung dan Butong akumulasinya melebihi yakni 100,1%," katanya menambahkan.

Aktivis muda asal Tahane ini memaparkan, dari sisi sosio demografi Indikator Indonesia kelihatan berbohong.

“Yang benar saja Indikator. Base Etnis Makeang, etnis Tidore, dan Sula sengaja diperkecil. Setelah itu mereka juga membuat kelompok etnis baru yaitu etnis Halmahera, Butung dan Butong. Ini etnis dari mana ke mana? Nama etnis ini belum pernah kami dengar di Maluku Utara sini," ungkap Igriza Madjid. 

"Kalaupun maksudnya adalah etnis Bitung masih bisa dimaklumi mungkin salah ketik tapi etnis Halmahera dan Butong ini etnis yang mana? Karena dalam uraian etnis sudah ada etnis Buton dan etnis lainnya. Ini artinya Indikator terkesan asal-asalan saja mencaplok nama etnis yang bahkan kami orang Maluku Utara-pun tidak pernah dengar,” imbuhnya. 

“Kemudian anehnya prosentase pada etnis Togale Sherly disebut lebih unggul dari Muhammad Kasuba yakni di Galela 37% dan di Tobelo 74%. Padahal secara representatif MK lebih dikenal oleh suku Togale karena MK adalah satu-satunya putra asli Togale yang mengikuti kontestasi Pilgub, sementara Sherly secara etnis tidak memiliki hubungan apapun dengan etnis Togale. Ini kan aneh,” lanjutnya lagi.

Baca Juga: Survei PSI: Elektabilitas Dendi Suryadi-Alif Turiadi Unggul 53,7% di Pilbup Kutai Kartanegara 2024

Igriza juga menyoal tentang citra personal yang dibuat bukan Sherly Tjoanda tapi Sherly Laos. Alumini sekolah anti korupsi KPK mini mempertanyakan, apakah perubahan nama belakang Sherly itu, sudah sesuai ketentuan yang harusnya disahkan oleh negara melalui penetapan pengadilan atau belum?

“Secara administratif ini bisa dilihat dari seluruh berkasnya yg masuk di KPU: apakah officially sudah ada perubahan nama? Kalau belum, maka kuasa hukum Paslon lain bisa mempersoalkan ini dari sisi hukum,” beber Igriza.

“Dari semua Paslon yang terdaftar tidak ada namanya Sherly Laos tetapi Sherly Tjoanda. Hanya saja tergantung kuasa hukumnya apakah punya sensibilty melihat ini? Begitu pun terhadap Lembaga survei yang melakukan pembohongan publik harus dibawa ke ranah hukum. Bukan cuman excess of sum tetapi juga nama Sherly Laos yang terdapat dalam survei Indikator apakah sesuai dengan nama dalam pemberkasan di KPUD atau tidak? Ini juga penting untuk dipersoalkan," pungkasnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Belinda Safitri

Advertisement

Bagikan Artikel: