Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengapa Pengenaan Cukai MBDK Tak Bisa Ditunda Lagi? Menyikapi Lonjakan Kasus Diabetes dan Obesitas

Oleh: Jessica Artha Febriana Marbun, Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

Mengapa Pengenaan Cukai MBDK Tak Bisa Ditunda Lagi? Menyikapi Lonjakan Kasus Diabetes dan Obesitas Minuman di rak minimarket. | Kredit Foto: Unsplash/Franki Chamaki
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia kini menjadi sorotan utama dalam diskursus kebijakan fiskal dan kesehyatan. Rencana ini, yang telah dipersiapkan sejak tahun 2021, bertujuan untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara sambil menekan konsumsi minuman manis yang berisiko bagi kesehatan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi lonjakan kasus penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas, yang sebagian besar disebabkan oleh konsumsi gula berlebih. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengimplementasikan kebijakan cukai sebagai langkah preventif yang menggabungkan tujuan fiskal dan kesehatan publik

Laporan UNICEF 2018 menyebutkan bahwa PTM menyebabkan 73 persen kematian di Indonesia. Data BPS 2021 menunjukkan konsumsi gula rata-rata mencapai 1.123 gram per minggu (160 gram per hari), melebihi rekomendasi Kemenkes (50 gram) dan WHO (25 gram). Kemenkes juga melaporkan bahwa 10,6 persen dari 179 juta orang dewasa di Indonesia menderita diabetes. Penyebab utama yang mendorong meningkatnya kasus kelebihan berat badan, obesitas, dan penyakit tidak menular (PTM) adalah perubahan pola makan, yang ditandai dengan konsumsi berlebihan makanan dan minuman yang mengandung gula, garam, dan lemak jahat. Salah satu produk yang berkontribusi besar adalah minuman manis, atau yang lebih dikenal dengan istilah sugar-sweetened beverages (SSBs), seperti minuman ringan, jus buah atau sayuran, minuman energi dan olahraga, teh serta kopi siap saji, dan susu berasa, yang semuanya mengandung kadar gula sangat tinggi, bahkan bisa mencapai 10 sendok teh dalam ukuran kemasan standar.

Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Regional, Prof. Candra Fajri Ananda, mendukung penuh pengenaan cukai pada MBDK. “Minuman berpemanis tidak sehat, padahal beberapa negara sudah menerapkan cukai pada produk ini. Cukai ini dinilai efektif untuk menurunkan konsumsi gula masyarakat serta menekan biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebih,” tuturnya. Ia menilai bahwa kebijakan yang mulai diterapkan pada tahun 2024 ini perlu didorong agar optimal dalam pelaksanaannya, mengingat tantangan ekonomi global dan pemulihan ekonomi nasional.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, barang kena cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, atau memiliki dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan. Minuman berpemanis dianggap memenuhi kriteria untuk dikenakan cukai. Diabetes menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia, dengan tingkat kematian sekitar 57,42 per 100.000 penduduk pada 2019. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2022 mencatat jumlah penderita diabetes tipe 1 di Indonesia mencapai 41.817 orang, menjadikan Indonesia di posisi teratas di ASEAN.

Baca Juga: Pemerintah Bebaskan Pajak Susu Impor, Tapi Ada Kriterianya, Apa Itu?

Dengan meningkatnya prevalensi diabetes, konsumsi gula nasional pada 2023 mencapai 3,4 juta ton, tertinggi dalam sepuluh tahun. Pemerintah menargetkan pengurangan konsumsi MBDK melalui cukai untuk menekan kasus penyakit tidak menular (PTM) hingga 2033, dan menetapkan target penerimaan sebesar Rp3,08 triliun untuk MBDK dalam Perpres No. 130 Tahun 2022. Sejalan dengan hal ini, dalam Nota Keuangan RAPBN 2025, Pemerintah telah memasukkan cukai MBDK sebagai ekstensifikasi penerimaan cukai di tahun 2025. Pada penjelasan di Nota Keuangan RAPBN 2025, pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan/ atau pemanis yang berlebihan, serta untuk mendorong industri untuk mereformulasi produk MBDK yang rendah gula, sehingga akhirnya diharapkan dapat mengurangi eksternalitas negatif bagi kesehatan masyarakat yaitu dengan menurunnya prevalensi PTM pada masyarakat.

Kebijakan ini bukan tanpa tantangan. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Askolani, penerapan cukai MBDK perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan, mengingat tantangan inflasi akibat kenaikan harga produk, meskipun dampaknya diperkirakan sementara. Pemerintah terus mensosialisasikan kebijakan ini melalui program edukasi. Sementara itu, Direktur Komunikasi Nirwala Dwi Heryanto menyatakan bahwa aturan cukai sedang dibahas dengan berbagai pihak, termasuk akademisi, Kemenkes, BPOM, dan WHO. Nirwala juga menambahkan bahwa pihaknya sedang menyusun aspek hukum dan formal untuk penerapan cukai MBDK di Indonesia.

Cukai MBDK telah diterapkan di 49 negara, termasuk negara berpenghasilan menengah, dan terbukti efektif menurunkan konsumsi minuman manis. Di Asia Tenggara, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Vietnam juga menerapkan cukai ini. Contohnya, Meksiko mencatat penurunan pembelian MBDK sebesar 19% setelah cukai 10%, dan Inggris melihat penurunan kadar gula dalam produk kemasan sebesar 11%. Studi di Thailand menunjukkan bahwa cukai 20% dan 25% dapat mengurangi prevalensi obesitas sebesar 3,83% dan 4,91%.

Pada RAPBN 2024, target penerimaan cukai dari MBDK meningkat menjadi Rp 4,38 triliun. Selain itu, dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun Anggaran 2025 juga mencantumkan kebijakan cukai ini untuk mendukung penerimaan negara. Dalam jangka panjang, cukai MBDK diharapkan dapat mendorong pola konsumsi masyarakat ke arah yang lebih sehat, khususnyagenerasi muda.

Baca Juga: Korea Ekspor Makanan Halal ke Indonesia Tembus USD236 Juta

Dilansir dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan peningkatan konsumsi minuman berpemanis di Indonesia, mencapai puncaknya pada 2013 dan 2014. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi ketiga dengan konsumsi 20,23 liter per orang per tahun, setelah Thailand dan Maladewa. Angka ini menyoroti urgensi penerapan kebijakan cukai pada minuman berpemanis untuk mengendalikan konsumsi dan mencegah risiko kesehatan jangka panjang, mengingat konsumsi yang terus meningkat di Indonesia berpotensi memperburuk angka penyakit terkait gula, seperti obesitas dan diabetes.

Melihat kondisi kesehatan masyarakat yang mengkhawatirkan dan pengalaman negara lain yang sukses menerapkan kebijakan serupa, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan rencana pengenaan cukai MBDK tanpa penundaan lebih lanjut. Kebijakan ini tidak hanya akan membantu menurunkan angka obesitas dan diabetes tetapi juga memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian negara melalui peningkatan pendapatan dari pajak. Melalui penerapan cukai MBDK, diharapkan pola hidup masyarakat Indonesia akan bergeser ke arah yang lebih sehat. Langkah ini menjadi penting menuju Indonesia Emas 2045, di mana kesehatan masyarakat akan menjadi salah satu fondasi utama.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: