Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Abaikan Soal Krisis Iklim, Aktivis Kecewa dengan Debat Pilgub Jabar 2024

Abaikan Soal Krisis Iklim, Aktivis Kecewa dengan Debat Pilgub Jabar 2024 Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Bandung -

Dalam acara Nonton Bareng Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat kedua, pemilih muda dan aktivis lingkungan menyatakan kekecewaannya karena debat tidak membahas langkah konkret transisi energi yang diperlukan untuk menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak. 

Hal ini terungkap dalam acara Festival Pilkada Bandung, sebuah proyek kolaborasi berbagai elemen anak muda untuk bertemu dan berdialog dengan calon pemimpin Jawa Barat, khususnya untuk mendorong aksi iklim.

Baca Juga: Kementan Lakukan Jurus Optimalisasi Lahan dan Cetak Sawah Baru Demi Atasi Krisis Pangan

Seperti diketahui, Jawa Barat saat ini menghadapi krisis lingkungan yang serius, di mana daya dukung dan daya tampung lingkungan telah terlampaui, menjadikan provinsi ini sebagai wilayah dengan jumlah bencana tertinggi di Indonesia. Dari Januari hingga Oktober 2024, tercatat telah terjadi 610 kejadian cuaca ekstrem, 400 tanah longsor, 187 banjir, 158 kebakaran hutan, 18 kekeringan, dan 16 gempa bumi, yang terjadi akibat krisis iklim.

Project Lead Pilah Pilih, Elok F. Mutia menilai kalangan generasi muda di Jawa Barat merupakan kelompok penting dalam pemilu kali ini. Data dan aspirasi yang  dikumpulkan membuktikan bahwa kesadaran mereka semakin tinggi tentang krisis iklim, termasuk tentang tuntutan mereka terhadap energi bersih.

Salah satu masalah terbesar di sektor energi di Jawa Barat adalah banyaknya industri yang masih menggunakan energi fosil, termasuk di Cirebon, lokasi di mana debat Calon Gubernur ini dilaksanakan. 

"Sayangnya, hal ini tidak menjadi pembahasan kunci dalam debat kali ini yang juga membahas tema lingkungan," kata Mutia kepada wartawan di Bandung, Minggu (17/11/2024).

Adapun, salah satu panelis dari Climate Rangers Cirebon, Alsya Aquia menyoroti bahwa di daerahnya, isu utama adalah industri energi, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang seharusnya sudah dipensiunkan dini. 

"Kalau mau mengatasi masalah yang satu, jangan membuat yang baru. Sektor energi bisa ditransmisikan ke yang terbarukan, apalagi banyak dampak buruk PLTU tidak hanya ke lingkungan tapi juga kesehatan, ekonomi sosial masyarakat sekitar," ungkapnya.

Baca Juga: Lawan Krisis Iklim, J Trust Bank Tanam 3000 Mangrove di Tangerang

Sementara itu, pemetaan tata ruang dan tata guna lahan menjadi salah satu poin pembahasan yang terus dikemukakan oleh beberapa calon gubernur. 

Menanggapi hal ini, Dani Setiawan dari Rhizoma menilai, calon gubernur terkesan justru menyalahkan masyarakat seperti pembabatan hutan dan penambangan ilegal.

"Tetapi tidak ada protes jelas seperti terhadap proyek strategis nasional yang mendapat izin dan dukungan kuat dari pemerintah pusat,” ujarnya.

Baca Juga: Rasakan Deflasi, Indonesia Masih Rasakan Efek Krisis Ekonomi 1998?

Pada kesempatan yang sama, Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Perubahan Iklim dari Universitas Parahyangan Stanislaus Apresian menilai jawaban dari para calon relatif masih umum, masih sekadar melakukan identifikasi dan berbagai inisiatif yang sudah ada. Mereka tidak membahas tentang nature-based solution untuk mencegah banjir dengan memanfaatkan alam, hanya membahas infrastruktur.

"Tentang transisi energi pun tidak ada yang berani bilang untuk melakukan penutupan PLTU batubara, tidak ada yang berani bahas, when, tidak ada,” katanya.

Festival Pilkada Bandung merupakan proyek kolaborasi antara Pilah Pilih, Bijak Pilkada, Demokrasi Kita, Bangun Bandung, Enter Nusantara, Muda Empati, Climate Ranger, Rhizoma Indonesia, Plabs.id, dan Bandung Milik Kita.

Berdasarkan laporan ‘Muliakan Bumi Parahyangan’ yang dikeluarkan dari kolaborator Kampanye PilahbPilih, masalah lingkungan utama yang menjadi perhatian warga Jawa Barat antara lain adalah ketergantungan terhadap energi fosil, persampahan, tata guna lahan, dan korupsi iklim. 

Jawa Barat tercatat memiliki ketergantungan pada energi fosil yang masih tinggi, dengan prediksi emisi gas rumah kaca mencapai 135 juta ton eCO2 tanpa aksi mitigasi di tahun 2030, sementara penggunaan energi terbarukan baru mencapai 2% dari total potensinya.

Laporan ini juga memberikan beberapa rekomendasi kebijakan untuk pemimpin Jawa Barat terpilih, antara lain mengurangi penggunaan energi fosil dan meningkatkan porsi energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED). 

Baca Juga: Hadapi Krisis Iklim, Hutan Wakaf Jadi Model Pengelolaan Hutan yang Inovatif

Selain itu perlu adanya dukungan desentralisasi energi terbarukan berbasis komunitas, dan dorongan kebijakan tata ruang yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta kebijakan yang lebih kuat dalam pencegahan bencana dan pengelolaan lingkungan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: