Konsultan sekaligus distributor pengendalian hama dan penyakit sawit, Fery Darmono Harianja, mengungkapkan bahwa sampai saat ini masih belum ada obat ampuh dan mujarab dalam mengatasi penyakit busuk batang alias ganoderma di perkebunan sawit.
Oleh sebab itu, dirinya mendorong agar pihak terkait bisa bekerja sama untuk mengatasi masalah ganoderma yang membuat anjlok produktivitas sawit nasional.
“Benar, butuh kerja keras secara bersama-sama oleh semua pihak untuk mengatasi ganoderma yang terus meluas ini,” ucap Fery dalam keterangannya di media, dikutip Sabtu (14/12/2024).
Dirinya juga menyebut bahwa masalah ganoderma di Sumatera Utara (Sumut) dan Riau makin meluas tiap tahunnya.
Persebaran ganoderma di kedua provinsi penghasil sawit terbesar di Indonesia itu menurut dia tidak hanya terjadi pada perkebunan milik petani saja, melainkan juga milik perusahaan perkebunan besar. Padahal, seharusnya perusahaan besar baik milik swasta maupun milik negara tersebut justru memiliki sumber daya manusia dan dana untuk mencegah persebaran ganoderma.
Baca Juga: Tak Ada Obat untuk Cendawan Parasit di Kebun Sawit, Metode Ini Diklaim Bisa Ulur Waktu
Kata pimpinan PT Pelita Susun Bentang Organik (Pesuntani) ini, persebaran ganoderma di Sumut dan Riau sebagai dua provinsi sawit terbesar di Indonesia tidak hanya terjadi pada perkebunan milik petani, melainkan juga milik perusahaan perkebunan.
Pimpinan PT Pelita Susun Bentang Organik (Pesuntani) ini mengaku khawatir apabila di tahun 2025 nanti perkebunan kelapa sawit yang terkena ganoderma kian meluas.
“Karena yang kami amati secara intensif, perkebunan kelapa sawit di laham gambut sudah terkena penyakit ganoderma sejak siklus pertama,” ungkapnya.
Maka dari itu, salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengatasi penyebaran ganoderma menurut dia adalah melalui metode terpadu dalam segala sektor. Baik mulai tanam perdana, maupun ketika proses peremajaan sawit rakyat (PSR) alias replanting.
Dalam tahap replanting, sebutnya, bisa dilakukan tahap land clearing alias pembersihan lahan secara terpadu. Hal tersebut bisa ‘mengulur waktu’ sawit baru akan terkena ganoderma di usia tanam 16 – 18 tahun.
Namun, dirinya khawatir juga apabila kebun sawit yang di-replanting tidak melalui proses land clearing terlebih dahulu. Pasalnya, sawit tersebut akan terkena ganoderma di usia muda minimal 9 – 12 tahun. Padahal, di usia demikian, sawit berada dalam periode kesuburan yang tinggi.
Bahkan, dia menyayangkan perkebunan sawit di Riau yang sudah menjalani replanting ketiga kalinya, namun tanamannya akhirnya terkena ganoderma di usia tanam 6 tahun lantaran tidak melalui proses pembersihan lahan terlebih dahulu.
Di sisi lain, Fery yakin jika ada pihak yang menggunakan sistem tanam secara sisip alias underplanting pun akan memperbesar kasus sawit yang terkena ganoderma untuk yang kesekian kalinya.
Baca Juga: Selain Biodiesel dari Sawit, Peneliti BRIN Ini Kembangkan Inovasi BBN dari Kelapa
“Bayangkanlah ngerinya serangan ganoderma ini menyerang perkebunan sawit yang pakai sistem underplanting, tinggal 60 pokok sawit yang hidup dari sekitar 130 pokok untuk setiap hektarnya. Hanya tinggal 60 pokok yang sehat, selebihnya di terjang ganoderma,” ucap Fery.
Oleh sebab itu, dirinya mendesak semua pihak agar bersinergi dalam memberantas ganoderma di perkebunan sawit dengan cara menerapkan sistem terpadu bersama. Baik yang dilakukan sejak masa replanting, maupun proses perawatan kebun sawit yang terukur.
“Nah, terakhir, soal perawatan kebun sawit ini, berarti termasuk pemupukan. Saran saya kepada pengusaha atau petani sawit, mulailah menggunalan pupuk organik cair (POC) maupun pupuk organik padat (POP) untuk perawaran kebun,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement