- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Komunitas
TPOLS Urai Masalah di Balik Sertifikasi Sawit dari Manipulasi Hingga Ketidakadilan bagi Buruh
Koordinator Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network (TPOLS), Rizal Assalam, mengungkapkan jika program sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), maupun Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) di sektor kelapa sawit justru memunculkan persoalan baru yang mengungkap tabir ketidakefektifan dari sistem sertifikasi tersebut. Padahal, sertifikasi tersebut digadang-gadang merupakan solusi untuk memastikan perusahaan mematuhi standar keberlanjutan.
Rizal menjelaskan bahwa praktik di lapangan kerap berbeda. Pasalnya, proses audit sertifikasi seringkali sarat dengan manipulasi.
“Kami menemukan cerita di mana perusahaan menyiapkan skenario agar auditor mereka memberikan laporan yang sesuai dengan harapan mereka. Bahkan, serangkaian pelanggaran perusahaan yang terbilang serius juga kerap disembunyikan,” kata Rizal dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun Buruh Perkebunan Sawit 2024, Jumat (27/12/2024).
Rizal memberi contoh praktik perpanjangan kontrak kemitraan perkebunan yang seharusnya dibatasi oleh moratorium perluasan lahan sawit. Menurut Rizal, selama ini banyak perusahaan yang menggunakan dalih skema kerja sama dengan petani untuk tetap membuka lahan baru. ironisnya, skema tersebut sering membawa para petani atau pekebun sawit ke jurang utang hingga ratusan juta rupiah.
Baca Juga: KPBI: Buruh Sawit Minim Kesejahteraan, Kerusakan Lingkungan, dan Tantangan Regulasi
Pada mulanya, para petani dijanjikan keuntungan besar melalui kerja sama dengan perusahaan yang seringkali merasa terjebak.
“Mereka harus menanggung utang hingga Rp300 juta. Sementara keuntungan yang dijanjikan tidak kunjung terealisasi sehingga konflik pun tidak terelakkan,” ungkap dia.
Tak hanya itu, konflik pun memperparah dengan penggunaan kekerasan. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Yang mana saat itu aparat brimob dikerahkan untuk menghadang para petani yang menuntut hak atas 20% lahan plasma yang dijanjikan oleh perusahaan.
Aksi buruh perkebunan juga kerap direspon dengan intimidasi maupun kriminalisasi. Kendati Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Kebebasan Berserikat, namun Rizal mengungkapkan bahwa pengurus serikat buruh di sektor perkebunan tak jarang mengalami intimidasi, pengrusakan, perisakan, hingga pemberangusan.
Masalah lain yang menjadi sorotan yakni kondisi buruh harian lepas di perkebunan sawit. Rizal mengatakan bahwa selama ini ada yang bekerja tanpa jaminan kepastian pendapatan atau kesehatan. Hal tersebut tentu menambah serangkaian daftar panjang kurangnya perlindungan bagi para pekerja di sektor ini.
“Buruh harian lepas merupakan salah satu kelompok paling rentan. Mereka kerap diperlakukan sebagai tenaga kerja murah tanpa perlindungan yang memadai,” ujar Rizal.
Baca Juga: Sawit Indonesia Bisa Jadi Pemain Global dengan ISPO
Dirinya juga mengungkapkan bagaimana ekspansi sawit di berbagai daerah, misalnya Riau dan Kalimantan Barat, membawa dampak yang buruk pada kebebasan berserikat dan kesejahteraan buruh.
Oleh sebab itu, pihaknya menyerukan reformasi menyeluruh terhadap sistem sertifikasi dan kebijakan di sektor sawit.
“Kita butuh inisiatif yang benar-benar berorientasi pada keadilan untuk para petani dan buruh. Tanpa cara itu, berbagai isu seperti utang petani, kekerasan dan pemberangusan serikat akan terus berulang,” ucap Rizal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement