Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Selamat Tinggal Hijau, Trump Bawa AS Fokus ke Energi Fosil!

Selamat Tinggal Hijau, Trump Bawa AS Fokus ke Energi Fosil! Kredit Foto: Instagram/Donald Trump
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan energi baru negara adidaya tersebut yang akan kembali fokus pada pemanfaatan maksimal bahan bakar fosil Amerika.

Trump mendeklarasikan keadaan darurat energi nasional dengan mempercepat perizinan produksi minyak dan gas, mencabut berbagai perlindungan lingkungan, serta menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris 2015. 

Keputusan ini menandai perubahan arah dari kebijakan Presiden Joe Biden yang berfokus pada transisi energi bersih. Selama masa kepresidenannya, Biden memperjuangkan kendaraan listrik dan energi terbarukan seperti angin dan surya sebagai bagian dari rencana mengurangi emisi karbon AS.

Dikutip dari reuters, selain menandatangani perintah eksekutif yang menyatakan keadaan darurat energi nasional, Trump juga menandatangani perintah untuk mendorong pengembangan minyak dan gas di Alaska, membalikkan upaya Biden untuk melindungi tanah Arktik dan perairan pesisir AS dari pengeboran, mencabut target Biden untuk adopsi kendaraan listrik, menangguhkan penjualan sewa angin lepas pantai, dan mencabut pembekuan perizinan ekspor LNG.

"Amerika akan kembali menjadi negara manufaktur, dan kami memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara manufaktur lainnya: cadangan minyak dan gas terbesar dari negara mana pun di Bumi," kata Trump dalam pidato pelantikannya. "Dan kami akan menggunakannya,” dikutip reuters, Senin (20/01/2025).

Trump mengatakan, langah tersebut diharapkan dapat menurunkan harga energi konsumen dan meningkatkan keamanan nasional AS, dengan memperluas pasokan domestik dan juga memperkuat sekutu. 

"Kami akan menurunkan harga, mengisi kembali cadangan strategis kami hingga penuh, dan mengekspor energi Amerika ke seluruh dunia," katanya. 

Sementara itu, diketahui juga, kelompok-kelompok pro lingkungan telah menyatakan niat mereka untuk menantang perintah eksekutif tersebut di pengadilan. Pasalnya, langkah yang diambil Donald Trump jauh berbeda dengan pandangan Amerika kal Biden masih menjabat sebagai Presiden AS.

Pemerintahan Biden memandang teknologi kendaraan listrik dan energi angin sebagai kunci dalam upaya mendekarbonisasi sektor transportasi dan energi, yang bersama-sama menyumbang sekitar setengah dari emisi karbon dioksida AS.

Pemerintahan Biden juga berusaha mendorong penggunaan kendaraan listrik dengan menawarkan subsidi konsumen untuk pembelian kendaraan listrik baru, serta memberlakukan standar emisi knalpot yang lebih ketat pada produsen mobil.

Mereka juga berupaya mendorong teknologi energi bersih seperti angin dan surya melalui kredit pajak yang menarik miliaran dolar dalam investasi manufaktur dan proyek baru. 

Komite Nasional Demokrat menyebut agenda hari pertama Trump sebagai "bencana bagi keluarga pekerja".

Baca Juga: Catat! Ini Serangkaian Prioritas Donald Trump di Era Kepemimpinannya

"Menghancurkan pekerjaan manufaktur dan memberi kebebasan kepada para pencemar yang membuat orang sakit sama sekali bukan cara untuk menempatkan 'Amerika di urutan pertama,'" kata Alex Floyd, juru bicara DNC.

Perubahan Besar Pada Industri Energi

Selama masa kampanyenya, Trump memang berulang kali menyatakan bahwa dia berniat menyatakan keadaan darurat energi nasional, dengan alasan bahwa AS harus memproduksi lebih banyak bahan bakar fosil dan meningkatkan pembangkit listrik untuk memenuhi permintaan yang meningkat.

Penggunaan daya pusat data AS, yang merupakan pendorong utama peningkatan permintaan listrik, dapat hampir tiga kali lipat dalam tiga tahun ke depan dan mengonsumsi hingga 12% daya negara untuk mendukung kecerdasan buatan dan teknologi lainnya, menurut Departemen Energi.

Deklarasi Trump bertujuan untuk melonggarkan pembatasan lingkungan pada pembangkit listrik untuk memenuhi permintaan tersebut, mempercepat pembangunan pembangkit baru, dan mempermudah perizinan proyek transmisi dan pipa.

"Itu memungkinkan Anda melakukan apa pun yang perlu Anda lakukan untuk mengatasi masalah itu," kata Trump kepada wartawan saat menandatangani perintah tersebut. "Dan kita memang menghadapi keadaan darurat seperti itu," lanjutnya.

Sam Sankar, wakil presiden senior untuk program di Earthjustice, sebuah kelompok nirlaba yang bersiap untuk melawan kebijakan Trump di pengadilan, mengatakan bahwa deklarasi darurat energi dalam periode non-perang adalah hal yang jarang dan belum teruji, yang menciptakan potensi kerentanan hukum.

Pemerintahan Trump pertama kali mempertimbangkan menggunakan kekuatan darurat di bawah Federal Power Act untuk mencoba memenuhi janji menyelamatkan industri batu bara yang menurun, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti.

Janji Trump untuk mengisi kembali cadangan strategis, sementara itu, berpotensi menaikkan harga minyak dengan meningkatkan permintaan minyak mentah AS.

Setelah invasi Ukraina, Biden telah menjual lebih dari 180 juta barel minyak mentah dari Cadangan Minyak Strategis AS, jumlah yang memecahkan rekor.

Baca Juga: Awasi Kebijakan Tarif, Ini Strategi Prabowo Melawan Ancaman Donald Trump

Penjualan tersebut membantu menjaga harga bensin tetap terkendali, tetapi menguras cadangan—yang dirancang untuk melindungi Amerika Serikat dari potensi guncangan pasokan—ke level terendah dalam 40 tahun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: