
Baru-baru ini, kebijakan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi global, terutama terhadap negara-negara yang terkait.
Arfian Prasetya Aji, Economist KISI Asset Management, memberikan beberapa highlight dari perkembangan terbaru sebagai berikut.
1. Kebijakan Tarif Impor AS
Pada awal bulan ini, Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan instruksi terkait tarif impor 25% untuk Kanada dan Meksiko, serta tambahan 10% untuk barang-barang dari China (dari rata-rata tarif tertimbang yang berlaku sebelumnya sebesar 0,3%) dan berlaku mulai 4 Februari 2025. Trump menjelaskan bahwa tarif ini akan tetap berlaku hingga keadaan darurat nasional terkait masalah obat fentanil dan imigrasi ilegal ke AS berakhir.
Merespon hal tersebut, Kaada dan Meksiko memberikan tanggapan bahwa mereka akan berjanji untuk memperkuat penegakan hukum di perbatasan. Setelah itu, Trump memberikan pernyataan baru bahwa tarif untuk Meksiko dan Kanada akan ditunda setidaknya selama 30 hari ke depan.
Kebijakan ini memicu ketidakpastian pasar, terlihat dari penguatan signifikan pada Indeks Dolar AS yang sempat mencapai level 109,86. Akibatnya, rupiah sempat terdepresiasi ke level 16,483, meskipun kini kembali menguat ke level 16,371 seiring dengan melandainya Indeks Dolar AS setelah adanya pernyataan bahwa pemberlakuan tarif tersebut ditunda.
2. Inflasi AS dan Indonesia
Inflasi PCE (Personal Consumption Expenditures) AS pada Desember 2024 tercatat sebesar 2,6% YoY, sesuai dengan perkiraan. Sementara Inflasi inti (Core PCE), yang tidak termasuk komponen makanan dan energi yang volatile, tercatat 2,8% YoY, menunjukkan bahwa tekanan inflasi di AS masih cukup tinggi.
Di sisi lain, inflasi domestik Indonesia pada Januari 2025 tercatat pada level terendah dalam 25 tahun terakhir, yakni 0,76% YoY. Lalu apakah inflasi yang sesungguhnya memang benar serendah ini? Apabilka kita coba cermati lebih lanjut, inflasi inti, yang merepresentasikan kondisi inflasi yang sesungguhnya masih tumbuh, tercatat +2,36% YoY.
Adapun penyebab inflasi secara umum sangat rendah adalah terletak pada komponen harga yang diatur pemerintah yang mengalami deflasi, yaitu sebesar -6,41% YoY. Program diskon tarif listrik memberikan kontribusi besar pada deflasi ini.
3. PMI Manufaktur Indonesia
Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia pada Januari 2025 meningkat menjadi 51,9, naik dari 51,2 pada bulan sebelumnya. Ini menandakan adanya pertumbuhan aktivitas pabrik yang berlanjut untuk bulan kedua berturut-turut, serta merupakan laju tercepat sejak Mei 2024. Pesanan baru terus tumbuh, didorong oleh permintaan asing yang meningkat. Biaya output juga tercatat moderat, berada pada level terendah dalam tiga bulan terakhir.
Peningkatan PMI ini dapat menjadi katalis positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam hal peningkatan produksi dan pembelian bahan baku. Dengan adanya peningkatan aktivitas produksi, diharapkan akan ada peningkatan perekrutan tenaga kerja yang dapat memperbaiki tingkat lapangan pekerjaan di Indonesia.
Baca Juga: Danatara, Bank Emas, dan Keanggotaan BRICS, Jadi Senjata Transformasi Ekonomi di Era Prabowo!
Dampak Terhadap Perekonomian Global dan Indonesia:
- Kebijakan Tarif AS: Tarif impor yang diterapkan oleh AS terhadap Kanada, Meksiko, dan China dapat memperburuk ketidakpastian ekonomi global serta dapat memengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed. Dengan adanya tarif impor dapat meningkatkan harga barang yang masuk ke AS karena perusahaan harus membayar tarif tambahan untuk barang yang diimpor. Alhasil, biaya ini pada umumnya akan dibebankan ke konsumen dengan bentuk harga yang lebih tinggi sehingga dapat mendorong inflasi. Meningkatnya inflasi di AS akan memperkecil ruang penurunan suku bunga The Fed. Imbasnya adalah ekspektasi terhadap US Treasury Yield akan tetap tinggi. Lalu dampaknya ke Indonesia adalah ruang pemangkasan suku bunga Bank Indonesia pun akan turut lebih terbatas, di lain sisi diperlukan pemangkasan lebih lanjut guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
- Inflasi AS dan Indonesia: Inflasi yang tinggi di AS berpotensi membuat The Fed tetap hawkish dalam kebijakan moneternya. Sebaliknya, inflasi Indonesia yang rendah memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk mengurangi suku bunga dan mendukung pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, yang perlu menjadi perhatian Bank Indonesia adalah keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas nilai tukar. Nilai tukar akan cenderung tertekan ketika The Fed masih mempertahankan suku bunganya.
- PMI Manufaktur Indonesia: Kenaikan PMI manufaktur Indonesia menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur mulai bangkit, yang diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dengan biaya output yang relatif rendah serta pesanan yang meningkat, Indonesia berpotensi mencatatkan pertumbuhan yang lebih baik pada kuartal ini.
Baca Juga: Bursa Eropa Ngerem, Pasar Soroti Dinamika Ekonomi Global
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Arfian Prasetya Aji, Economist KISI Asset Management memberikan kesimpulan bahwa dinamika kebijakan ekonomi yang terjadi di AS memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar global, termasuk Indonesia.
Namun, dengan inflasi domestik yang rendah dan peningkatan sektor manufaktur, Indonesia memiliki kesempatan untuk terus memperkuat ekonomi meski di tengah ketidakpastian global. Pihak terkait di Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, diharapkan dapat memanfaatkan ruang moneter dan fiskal yang ada untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi di tahun 2025.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement