
Pandemi Covid-19 telah membuka mata banyak negara, termasuk Indonesia, akan pentingnya ketahanan kesehatan dalam menjaga stabilitas nasional. Gangguan suplai bahan baku obat (BBO) akibat ketergantungan terhadap impor dari China dan India menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi industri farmasi dalam negeri.
Ancaman gangguan suplai BBO di masa depan kian meningkat seiring dengan potensi pandemi berikutnya, tren deglobalisasi, serta dinamika geopolitik dan geoekonomi. Ketergantungan industri farmasi Indonesia terhadap impor BBO yang mencapai 90–95% membuat ketahanan farmasi nasional lemah. Hal ini berdampak langsung pada ketahanan kesehatan dan ketahanan nasional secara keseluruhan.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengembangkan industri BBO sejak 1980-an melalui berbagai kebijakan, termasuk Instruksi Presiden No. 16 Tahun 2016 tentang Percepatan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Namun, investasi di sektor ini masih minim, terlihat dari jumlah manufaktur BBO yang tidak bertambah secara signifikan.
Menyoroti permasalahan ini, Direktur Utama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, Pamian Siregar, melakukan penelitian untuk disertasi doktoralnya di Sekolah Bisnis IPB University. Dalam sidang promosi terbuka, Rabu (26/2/2025), ia memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul "Model dan Strategi Pengembangan Industri Bahan Baku Obat (BBO) di Indonesia."
Baca Juga: Kimia Farma Buka Suara Soal Pergerakan Saham yang Melonjak, Begini Katanya!
Pamian menegaskan bahwa urgensi pengembangan industri BBO di Indonesia semakin meningkat, terutama karena populasi Indonesia yang mencapai 280 juta jiwa. Menurutnya, terlalu berisiko jika masa depan kesehatan dan ketersediaan obat bagi masyarakat bergantung pada impor dari negara lain.
Penelitiannya mengungkap bahwa profitabilitas industri BBO di Indonesia masih rendah, sehingga kurang menarik bagi investor. Oleh karena itu, diperlukan model dan strategi yang dapat meningkatkan ekosistem industri serta mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor ini.
Pamian mengusulkan model pengembangan industri BBO berbasis kombinasi pendekatan ketahanan (resiliency) dan pendekatan ekonomi. Ia juga menekankan perlunya transformasi konsep ketahanan nasional dengan menambahkan ketahanan kesehatan sebagai salah satu dimensi utama, sejajar dengan ketahanan pertahanan, energi, dan pangan.
Dalam implementasi strategi, Pamian mengajukan dua skenario untuk jangka pendek dan jangka menengah-panjang.
Baca Juga: Pakar Soroti Industri Kesehatan India, Harga Obat Bisa Enam Kali Lebih Murah dari Indonesia!
Strategi jangka pendek dapat menggunakan pendekatan ketahanan digunakan karena industri BBO dalam negeri belum memiliki daya saing. Fokusnya adalah meningkatkan keekonomian industri agar berkelanjutan dan menarik minat investasi. Strategi ini membutuhkan intervensi pemerintah melalui kebijakan keberpihakan yang konkret.
Kemudian, untuk strategi Jangka Menengah-Panjang, setelah daya saing industri meningkat, pemerintah dapat secara bertahap mengurangi dukungan. Industri BBO dalam negeri diharapkan mampu bersaing secara mandiri, menopang industri farmasi nasional, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Lucia Rizka Andalucia, turut mengapresiasi penelitian ini. Dalam sambutannya pada sidang promosi, ia menegaskan pentingnya kemandirian BBO untuk mendukung program kesehatan nasional. Ia juga menyatakan bahwa hasil penelitian Pamian akan menjadi referensi bagi pemerintah dalam merancang kebijakan yang lebih tepat guna untuk industri BBO di Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement