
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyoroti tantangan yang dihadapi industri sawit nasional dalam menghadapi persaingan global pada 2025. Sekretaris Jenderal GAPKI, Muhammad Hadi Sugeng, menekankan bahwa biaya produksi yang tinggi menjadi hambatan utama daya saing Indonesia dibandingkan negara lain, terutama Malaysia.
"Produksi minyak sawit kita tahun depan diperkirakan mencapai 53,3 juta ton, dengan crude palm oil (CPO) sekitar 48,98 juta ton dan crude palm kernel oil (CPKO) 4,65 juta ton. Namun, kita harus menyadari bahwa industri sawit sudah tidak lagi di habitatnya, sehingga harga semakin tinggi," ujar Hadi, Jakarta, dikutip Sabtu (8/3/2025).
Menurutnya, bisnis komoditas sangat bergantung pada efisiensi biaya. "Di dunia komoditas, yang memiliki the lowest cost akan menjadi pemenang. Saat ini, biaya produksi kita masih jauh lebih tinggi dibanding Malaysia, sehingga menurunkan daya saing global," tegasnya.
Baca Juga: DHE Harus Mengendap Setahun, GAPKI: Tak Masalah, Asal Operasional Tidak Terganggu
Ia menambahkan bahwa program-program tertentu justru membebani industri sawit, mengurangi daya saing di pasar internasional. Oleh karena itu, koordinasi terus dilakukan agar beban biaya tidak semakin berat.
"Produktivitas harus kita tingkatkan, salah satunya dengan mempercepat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Di sisi lain, kita juga harus memastikan biaya produksi tetap kompetitif agar industri sawit nasional bisa memimpin pasar global," ujarnya.
Hadi mengingatkan bahwa industri sawit pernah menghadapi situasi sulit pada 2021 ketika biaya operasional melampaui harga CPO. "Saat itu, kami terpaksa dimover. Ini menunjukkan bahwa ancaman utama bagi industri kita bukan hanya regulasi yang tidak pro-investasi, tetapi juga tingginya biaya produksi. Jika biaya lebih tinggi dari harga jual, industri ini bisa mati," tambahnya.
Tren Minyak Nabati Global: Tantangan Baru bagi Sawit Indonesia
Outlook 2025 menunjukkan pergeseran besar dalam pasar minyak nabati global. Permintaan minyak kedelai melonjak, terutama di India dan Uni Eropa, sementara ekspor minyak sawit diperkirakan turun akibat ketatnya pasokan.
Produksi minyak nabati global hanya meningkat 2,1 juta ton pada 2025, jauh lebih kecil dibanding kenaikan 5 juta ton pada 2024. Produksi minyak kedelai naik 4 juta ton, tetapi penurunan produksi minyak bunga matahari (-2,4 juta ton) dan rapeseed (-1 juta ton) membuat keseimbangan pasar terganggu.
Baca Juga: Devisa atau B50? GAPKI Desak Pemerintah Pilih yang Untungkan RI!
Di sisi lain, konsumsi minyak nabati global diperkirakan hanya tumbuh 1,9 juta ton pada 2025, dibanding kenaikan 8,7 juta ton tahun lalu. Perlambatan ini terjadi di Uni Eropa, Malaysia, Tiongkok, dan Brasil.
Khusus minyak sawit, konsumsi global diprediksi turun 1 juta ton pada 2025 setelah sempat naik 0,4 juta ton pada 2024. Ekspor minyak sawit global juga berkurang 0,4 juta ton, meski tidak sebesar penurunan 5 juta ton tahun sebelumnya. Penurunan ekspor terbesar berasal dari Indonesia dan Malaysia, karena banyak importir beralih ke minyak nabati lain.
Produksi minyak sawit di Malaysia menyusut ke level terendah dalam 21 bulan, sementara luas perkebunan kelapa sawit mencapai titik terendah dalam 10 tahun terakhir.
Baca Juga: Pemerintah Ngotot Jalankan B50, GAPKI Beri Peringatan Keras!
Dampak terhadap Industri Sawit Indonesia
Produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan stagnan akibat usia tanaman yang semakin tua dan produktivitas yang menurun. Namun, harga diprediksi naik pada kuartal pertama 2025 seiring dengan implementasi biodiesel B40.
Meski demikian, ekspor minyak sawit nasional terancam kehilangan pasar karena pasokan yang tidak mencukupi. Jika tidak ada strategi peningkatan produksi yang jelas, risiko berlanjutnya penurunan ekspor dalam jangka panjang semakin besar.
Menurut Hadi, strategi peningkatan produksi harus segera dirumuskan agar dapat memenuhi kebutuhan pangan, biofuel, serta mempertahankan pasar ekspor.
Baca Juga: Perkebunan Sawit Bukan Penyebab Terjadinya Pemanasan Global
Baca Juga: Mengenal Minyak Sawit, Minyak Nabati Paling Produktif di Dunia
"Dengan pasokan minyak nabati global yang ketat, harga kemungkinan akan tetap tinggi dalam jangka pendek hingga menengah. Namun, industri sawit nasional harus segera beradaptasi agar tetap kompetitif di pasar internasional," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement