Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Guru Besar IPB: Penertiban Lahan Sawit Perlu Kebijakan Satu Peta Hutan

Guru Besar IPB: Penertiban Lahan Sawit Perlu Kebijakan Satu Peta Hutan Kredit Foto: SMART
Warta Ekonomi, Jakarta -

Implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan hendaknya dilakukan secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan keberlanjutan kontribusi industri kelapa sawit baik secara lokal, nasional maupun Internasional. Pemerintah diminta untuk segera mewujudkan terbitnya kebijakan satu peta (one map policy) hutan yang bisa dijadikan acuan secara nasional agar terwujud langkah penertiban yang win-win solution.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Yanto Santosa menyoroti bahwa inti dari permasalahan industri sawit adalah acuan peta yang dipakai untuk melakukan penertiban kawasan hutan.

Baca Juga: Gapki Soroti Daya Saing Minyak Sawit Indonesia di Pasar Global

"Kebijakan satu peta yang dicanangkan pemerintah zaman dulu, one map policy itu itu memang harus dipaksakan diselesaikan. Sehingga acuannya satu peta, semua sepakat. Kalau sekarang, kan Kementerian Kehutanan punya peta, Kementerian Transmigrasi punya peta. Ini nggak bener," kata Prof Yanto.

Menurut Yanto, tanaman sawit sudah ada sebelum Undang-Undang Kehutanan lahir.  Tanaman sawit sudah mulai marak ditanam sejak sebelum tahun 1999-an. Karena itu, kurang bijaksana jika penertiban kawasan hutan dilakukan dengan peta kawasan hutan versi Kementerian Kehutanan yang belum dikukuhkan secara nasional.

"Harusnya tim ini (Satgas Penertiban Kawasan Hutan) bergerak dengan mengacu kepada peta hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan/ditetapkan. Perlu pengukuhan kawasan hutan dulu. Jangan menggunakan peta hutan versi Kehutanan yang belum dikukuhkan, belum ditetapkan," jelasnya.

Pengukuhan kawasan hutan merupakan proses penting dalam menetapkan status legal dan legitimate suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan idealnya dilakukan dengan mengundang semua pemangku kepentingan yang terkait/berbatasan dengan kawasan hutan tersebut. Jadi, penetapan kawasan hutan tidak boleh dilakukan secara sepihak seperti yang dilakukan saat ini, sehingga terkesan tidak mendapat legitimasi dari pihak lain dan atau masyarakat.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit terdapat lebih kurang 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan. Untuk itu, Tim Satgas harus melakukan inventarisasi secara cermat karena lahan sawit yang masuk kawasan hutan terpencar di berbagai wilayah di Tanah Air. Konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan wajib dilakukan untuk memastikan transparansi dan menghindari konflik sosial. Masyarakat setempat dan pihak terkait diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau keberatan terkait penetapan kawasan hutan.

Setelah penataan batas dan konsultasi publik, pemerintah menetapkan kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mencakup batas-batas kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi, atau hutan produksi.

Lebih jauh, Yanto mengaku sepakat dengan semangat munculnya Perpres No 5 tahun 2025 yang secara filosofis berniat bagus untuk menertibkan kawasan hutan. Karena kalau tidak diterbitkan dikhawatirkan ke depan akan menjadi pelajaran yang kurang baik. Hanya saja, regulasi yang ada di dalam Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya sudah bagus karena sudah berisi adanya sanksi denda.

"Ini kan tiba-tiba muncul Perpres No 5 dikatakan akan diambil alih. Jadi menurut saya solusinya untuk menengahi ini di Perpres ini tidak perlu disebutkan hukumannya. Karena sudah terang benderang tertuang dalam UU Cipta Kerja. Undang-undang kan statusnya lebih tinggi dari Perpres. Kalau pemerintah memang arif dan bijaksana, jalan tengahnya begitu," paparnya. Penetapan sanksi di UU Cipta Kerja sudah dijelaskan khususnya di Pasal 110A dan 110B.

Dia melihat kelemahan Perpres ini adalah adanya pasal-pasal hukuman dan denda. Selain sudah tercakup dalam UU Cipta Kerja, adanya sanksi pengambilalihan lahan sawit yang masuk kawasan hutan oleh negara dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang kurang baik.

"Dengan kata-kata dikuasai kembali oleh negara. Pertanyaannya sekarang, siapakah organ negara yang mau mengerjakannya? BUMN? Ini lahannya sangat luas, 3,3 juta hektare. Saya khawatir hasilnya belum tentu lebih baik," ungkapnya.

Selama ini banyak tanah hutan dicabut izinnya menjadi terlantar karena tidak diurus dengan baik. Jika memang perpres diterapkan, dia mengusulkan pemerintah mengambil jalan yang lebih moderat dan bijaksana. Apalagi, saat ini kondisi perekonomian belum pulih. Untuk kebun sawit yang tidak memiliki izin sama sekali, wajar jika diberi sanksi denda namun tetap dilakukan secara transisional.

"Win win solution. Intinya jangan sampai ada gembar-gembor seperti perpres, (lahan sawit) langsung dikuasai negara," paparnya.

Karena ada sejumlah dampak yang akan muncul. Pertama, akan terjadi kegaduhan atau gonjang ganjing tentang keberlanjutan industri sawit. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan program Biodiesel-40 (B-40) mulai 2025 ini. Dia khawatir target B-40 tersebut tidak akan tercapai karena kekurangan bahan baku minyak sawit. Belum lagi potensi terjadinya penurunan performa industri sawit secara nasional jika benar-benar lahan sawit yang masuk kawasan hutan langsung diambil alih negara.

"Apa pemerintah berani menangani potensi penurunan ini (industri sawit) hanya demi gengsi tegas tuntas," paparnya.

Sebagai ilustrasi, data Kementerian Keuangan menyebut nilai produksi sektor sawit mencapai Rp729 triliun dan menyumbang terhadap penerimaan negara hingga Rp88,7 triliun sepanjang sepanjang tahun 2023. Adapun, B-40 adalah campuran 40 persen biodiesel berbahan baku minyak nabati (seperti minyak kelapa sawit) dengan 60 persen bahan bakar solar. 

Dampak kedua, penerapan perpres yang kaku akan berpotensi munculnya masalah sosial.

"Bagaimana dampak sosial bagi masyaakat atau pekerja yang saat ini bekerja di tempat tempat tersebut,’’ jelasnya.

Baca Juga: Sukses Berkebun Kelapa Sawit, Asian Agri Kenalkan Benih Sawit Unggul Topaz

Ketiga, kalau memang diambil alih oleh negara, perlu dipikirkan pengelolaannya agar tetap memberikan hasil yang lebih baik.

"Mungkin ada transisional pengambilalihan itu. Tapi dampaknya menurut saya akan lebih gaduh (memaksakan Perpres No 5 Tahun 2025) ketimbang kalau pemerintah lebih bijak memberikan transisional seperti di UU Cipta Kerja," tandasnya.

Baca Juga: Industri Sawit Jadi Bagian Strategis Ketahanan Pangan

Baca Juga: Menyehatkan Kehidupan Manusia Melalui Konsumsi Minyak Sawit Bergizi

Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan Perpres No 5 Tahun 2025 mengenai Penertiban Kawasan Hutan. Aturan ini juga mengatur pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan. Satgas ini bertugas melaksanakan penertiban kawasan hutan melalui penagihan dikenakan sanksi denda administratif, pidana, penguasaan kembali kawasan hutan dan pemulihan aset di kawasan hutan. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: