
Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, mengaku jika pihaknya optimis minyak sawit mentah (CPO) akan tetap menjadi pilihan utama di pasar global kendati harganya saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Amran untuk merespons kekhawatiran Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) yang menyebut naiknya harga CPO bisa mendorong konsumen beralih ke minyak nabati lainya.
"Enggalah, insyaallah," ujar Amran dalam keterangannya, Senin (10/3/2025).
Baca Juga: Gapki Soroti Daya Saing Minyak Sawit Indonesia di Pasar Global
Dia menilai jika pasar minyak nabati sifatnya dinamis. Dengan kata lain, harganya dapat dipengaruhi oleh kondisi produksi di berbagai negara penghasil minyak nabati lainnya seperti rapeseed, kedelai, dan bunga matahari.
"Ada saat di mana tanaman mereka bagus, tetapi ketika musim dingin atau tidak bisa tanam, tentu harga akan naik lagi," jelasnya.
Untuk diketahui, Eddy Martono selaku Ketua Umum GAPKI melihat tren harga CPO yang tinggi sebagai sebuah tantangan bagi industri sawit Indonesia. Dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan minyak nabati lain, dia menyebut jika minyak sawit kini telah menjadi minyak premium di pasar global.
Akan tetapi, kondisi tersebut justru membawa risiko besar. Dia mengingatkan bahwa jika harga CPO terus melambung, maka konsumen berpotensi beralih ke minyak nabati lain yang lebih murah.
Jika konsumen sudah berpindah ke minyak nabati lainnya, imbuhnya, maka menarik mereka kembali ke minyak sawit akan membutuhkan usaha yang besar.
"Kalau harga sawit tetap tinggi, kita juga tidak nyaman. Karena kalau sudah kehilangan pasar, untuk merebutnya lagi akan sangat sulit," katanya beberapa waktu yang lalu.
Baca Juga: Industri Sawit Terpukul! Produksi dan Ekspor Kompak Turun
Senada, dalam keterangannya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, turut memperingatkan bahwa naiknya harga CPO bisa menjadi boomerang apabila tidak diantisipasi dengan baik.
Sahat membandingkan situasi tersebut dengan apa yang dialami oleh industri karet di tahun 1950-an yang mana harga terlalu tinggi saat itu justru menyebabkan munculnya karet sintetis sebagai alternatif.
"Saat Perang Korea tahun 1950, harga karet kita melonjak hingga 8,5 dolar AS per kg. Akibatnya, industri mulai mencari alternatif, dan akhirnya muncul karet sintetis yang jauh lebih murah," ungkap Sahat, Selasa (11/3/2025).
Maka dari itu, dia menegaskan bahwa pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dalam menentukan harga CPO agar tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar atau spekulan.
Baca Juga: Fungsi Pelestarian Plasma Nutfah oleh Perkebunan Kelapa Sawit
Baca Juga: Minyak Sawit, Minyak Makan Anti-Kanker
"Jangan sampai kita dipermainkan dengan harga tinggi. Pemerintah harus menentukan harga yang sesuai agar industri sawit tetap kompetitif," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement