
Di setiap penghujung bulan Ramadhan, jutaan rakyat Indonesia demi merayakan lebaran bersama dengan keluarga besar, para pemudik memenuhi segala moda transportasi darat, laut maupun udara. Di setiap wilayah, kita saksikan tumpukan manusia memenuhi bandara, terminal dan pelabuhan. Kementerian Perhubungan RI memprediksi jumlah pemudik tahun ini mencapai 146,48 juta orang. Angka tersebut menggambarkan euforia rakyat Indonesia merayakan Idul Fitri. Secara sosiologis, melubernya para pemudik di setiap idul fitri adalah manifestasi menjaga persaudaraan, persahabatan dan rasa cinta terhadap tanah para leluhur. Tradisi tersebut dapat dibaca sebagai penguatan kohesi sosial yang cenderung tercerabut akibat urbanisasi, industrialisasi dan modernisasi. Momen mudik Idul Fitri dipandang sebagai momentum berharga bagi bangsa Indonesia untuk Kembali membangun karkter, identitas dan kesadaran kolektif sebagai warga negara.
Makna Idulfitri
Idul Fitri, secara etimologis bermakna kembali pada kesucian. Nurcholis Madjid (1939-2005) menggambarkannya sebagai simbol kelahiran kembali (born again), dimana manusia kembali pada fitrahnya dalam bentuk yang terbaik, in optima forma. Dalam pemaknaan ini, mereka yang kemudian diterima puasanya oleh Allah SWT hadir laksana bayi yang baru dilahirkan, ia bersih dari dosa serta siap untuk menjalani kehidupan yang baru dengan hati yang jernih. Sementara itu, perayaan lebaran merupakan manifestasi simbolik dari gegap gempita kemenangan manusia melewati ujian berat selama satu bulan ramadhan (Chalik, 2023). Ujian tersebut berupa pelatihan fisik dan mental yang digembleng melalui disiplin berpuasa.
Pedagogi Kebangsaan
Idul Fitri bukan sekadar ritual individu belaka, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial yang tinggi seperti fondasi persaudaraan, persahabatan dan persatuan. Ketiga elemen tersebut adalah modal utama menjalakan demokrasi dalam kehidupan kebangsaan. Dalam pemahaman yang lebih mendalam, kandungan nilai-nilai pedagogi kebangsaan dalam semangat idul fitri dapat dilihat dari beberapa hal:
Pertama, idul fitri bukanlah sekadar perayaan seremonial belaka, namun juga momentum untuk memperkukuh persatuan dan kohesi sosial. Di masjid atau lapangan, semua lapisan masyarakat berbaur, saling berjabat tangan, mereka meleburkan segala sekat perbedaan dalam semangat silaturrahmi.Lebaran menjadi ruang untuk meredakan ketegangan, memperkuat harmoni, dan meneguhkan rasa kebersamaan. Suasana harmonis tersebut tampak jelas tergambar dari ibadah shalat Idul Fitri yang kerap dilangsungkan di masjid atau lapangan. Bila shalat idul fitri adalah ritual peribadatan komunal ummat Islam, maka tradisi halal bii halal yang dilaksanakan setelah shalat idul fitri menjadi aktivitas sosial yang bersifat lintas iman. Dalam tradisi ini, semua orang bergembira menyambut lebaran tanpa ada sekat dan jarak pembatas. Sebab itulah, dalam banyak tradisi halal bii halal, semua orang ikut berkumpul, termasuk non muslim yang ikut perayaan halal bii halal.
Dalam konteks kebangsaan, semangat ini sungguh penting untuk terus merajut tenun persaudaraan antar sesama. Islam mengajarkan pentingnya persaudaraan melalui spirit persaudaraan atas nama agama (ukhuwah islamiyah), persaudaraan antar sesama manusia (ukhuwah insaniyah), serta persaudaraan antar sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah). Nilai-nilai tersebut niscaya dibutuhkan sebagai perekat kebhinekaan ditengah berbagai keragaman di Indonesia.
Kedua, solidaritas dan gotong royong. Melaui ritual zakat fitrah, manusia diajak untuk menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan tak boleh hanya milik segelintir golongan, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Zakat dengan demikian hendak menanamkan nilai-nilai kebersamaan, mengikis egoisme dan meneguhkan kolektivitas dalam menghadapi segala ragam persoalan sosial.
Lebih dari sekadar kewajiban agama, zakat fitrah ialah jembatan penghubung antara mereka yang berkelimpahan dengan mereka yang kekurangan. Semangat ini hendak meruntuhkan sekat-sekat sosial. Dalam makna yang lebih luas, zakat fitrah juga merupakan kritik terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi dimana kekayaan hanya diakumulasi oleh segelintir golongan elite. Zakat merupakan lambang empati dan kepedulian, menjadi penanda bahwa kemiskinan bukanlah sekadar angka dan data belaka, melainkan realitas faktual yang harus diselesaikan secara bersama.
Ketiga, idul fitri mendorong semangat pembaharuan, baik secara individu maupun kolektif. Selama sebulan lamanya, ummat Islam ditempa nilai-nilai luhur seperti kedisiplinan, kejujuran, empati dan pengendalian diri. Nilai-nilai tersebut hendaknya tidak berhenti dalam ritus individu belaka, melainkan juga bertransformasi menjadi karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks kepemimpinan dan kebangsaan di Indonesia, Idul Fitri diharapkan bisa menjadi titik reflektif bagi elite pemimpin untuk keluar dari watak negatif yang merusak pranata sosial, politik dan ekonomi.
Pembelajaran moral yang ditanamkan selama Ramadhan seharusnya mendorong tumbuhnya etika sosial dan kebangsaan yang luhur. Dalam skala individu, nilai-nilai Ramadhan seyogianya terefleksi dalam laku hidup, melalui karakter jujur dan bertanggung jawab. Sementara dalam skala kehidupan yang lebih luas, semangat Idul Fitri menginspirasi pembaharuan pada sistem sosial dan politik. Di tengah kehidupan kebangsaan nasional yang tampak masih berkelahi dengan masalah integritas, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, maka nilai-nilai yang ditanam oleh puasa Ramadhan dan Idul Fitri seyogianya menjadi fondasi dasar untuk membangun peradaban bangsa yang bermartabat.
Meraih Kemenangan
Nilai-nilai persatuan, gotong royong dan semangat pembaharuan sebagaimana dijelaskan di atas hendaklah menjadi pegangan bersama untuk meraih kemenangan, baik dalam konteks individu, maupun dalam kerangka kehidupan sosial kebangsaan.
Pada akhirnya, kemenangan Idul Fitri dapat diukur dari sejauh mana individu mampu untuk mempertahankan nilai-nilai yang diraih selama Ramadhan. Nilai persatuan, gotong royong dan semangat pembaharuan jangan berhenti sekadar seremonial belaka. Nilai-nilai tersebut niscaya harus terus berlanjut dalam praktik sosial masyarakat bahkan setelah Idul Fitri berlalu. Jika nilai tersebut melekat dalam kehidupan sosial, maka Idul Fitri benar-benar menjadi titik balik bagi perubahan sosial yang lebih baik.
Penulis: Arif Jamali Muis, Sekretaris PWM DIY, Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement