Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Trump ‘Gebuk’ Dagang RI, Ekonom: Tarif Naik, Risiko Mengintai

Trump ‘Gebuk’ Dagang RI, Ekonom: Tarif Naik, Risiko Mengintai Kredit Foto: Instagram/Donald Trump
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengguncang panggung perdagangan global. Kali ini, ia menetapkan tarif dasar impor baru sebesar 10% untuk seluruh barang masuk ke AS, dengan tarif lebih tinggi dikenakan bagi negara-negara yang memiliki surplus perdagangan terhadap AS. Indonesia termasuk yang terdampak, dengan tarif bea masuk mencapai 32% untuk produk ekspor nasional.

Padahal, sepanjang Januari–Februari 2025, AS adalah kontributor terbesar terhadap surplus perdagangan Indonesia, dengan nilai mencapai US$3,1 miliar. Kenaikan tarif ini memicu kekhawatiran bahwa ekspor Indonesia ke pasar AS akan tertekan, khususnya di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, garmen, dan produk kelapa sawit.

Baca Juga: Ekspor Sawit Indonesia Terancam, GIMNI Rancang Solusi Hadapi Tarif Resiprokal USA

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, menilai kebijakan Presiden Trump yang ekstrem ini berpotensi memberi dampak negatif tidak hanya pada ekonomi global, tetapi juga pada ekonomi AS sendiri. Menurutnya, kebijakan Trump dilandasi pandangan bahwa defisit perdagangan AS disebabkan oleh praktik tidak adil dari mitra dagang, termasuk Indonesia.

Fadhil memaparkan empat agenda besar kebijakan ekonomi Trump yakni pemotongan pajak untuk kelas menengah ke atas, pemangkasan besar-besaran anggaran pemerintah, revitalisasi industri manufaktur, dan kebijakan perdagangan yang proteksionis demi menciptakan “keadilan dagang.”

Salah satu senjata utama Trump adalah tarif impor. Namun, Fadhil menyebut dasar penghitungan tarif “resiprokal” itu tidak jelas. Misalnya, AS menuduh Indonesia mengenakan hambatan dagang sebesar 64%, padahal tarif aktual jauh di bawah itu. Angka tersebut muncul dari perbandingan defisit dagang AS dengan nilai total impornya dari Indonesia, bukan dari hitungan tarif sesungguhnya.

Fadhil melihat ada dua kemungkinan arah dari kebijakan Trump. Pertama, skenario negatif. Tarif akan memicu inflasi, memperbesar biaya hidup, dan mendorong terjadinya stagflasi di AS.

“Kedua, skenario optimistis, agenda Trump justru menumbuhkan ekonomi AS, mirip seperti era Ronald Reagan. Namun, untuk jangka pendek, ia menilai skenario pertama lebih mungkin terjadi,” ungkap Fadhil dalam keterangannya, dikutip Minggu (13/4/2025).

Bagi Indonesia, Fadhil menilai dampaknya masih tergolong moderat karena ketergantungan ekspor ke AS hanya sekitar 10,5%. Meski begitu, ada ancaman lanjutan berupa pelemahan rupiah. Perang dagang dapat memicu inflasi global, mendorong The Fed menaikkan suku bunga, lalu memicu arus keluar modal dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya

Advertisement

Bagikan Artikel: