Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

60 Hari Penentu Arah Baru Hubungan Dagang RI-AS

60 Hari Penentu Arah Baru Hubungan Dagang RI-AS Kredit Foto: Kemenko Perekonomian
Warta Ekonomi, Jakarta -

Langkah cepat pemerintah Indonesia dalam merespons tekanan tarif dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi kini berada di jalur yang semakin strategis dan proaktif.

Pertemuan bilateral antara Indonesia dan AS di Washington, D.C., yang menghasilkan kesepakatan kerangka negosiasi dalam 60 hari ke depan bukan sekadar rutinitas diplomatik, melainkan sinyal penting bahwa Indonesia tak lagi bersedia menjadi objek kebijakan dagang negara maju, melainkan mitra yang sejajar.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, selaku pimpinan delegasi RI, menyampaikan bahwa permintaan AS cukup jelas: tarif dan hambatan non-tarif harus dikendurkan agar ekspor mereka—dari gandum hingga alat berat—lebih kompetitif di pasar Indonesia. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana Indonesia merespons: bahwa permintaan tersebut hanya akan diberi ruang jika AS juga memberi perlakuan yang adil terhadap ekspor unggulan RI.

“Jadi, apabila Amerika sudah diberikan tarif yang berimbang, maka Indonesia juga mengharapkan agar 20 produk unggulan Indonesia yang diekspor ke Amerika diberikan tarif yang seimbang pula, dan tarif tersebut tidak lebih tinggi daripada negara-negara pesaing Indonesia,” ucap Airlangga dari Washington, D.C., Jumat (18/04/2025).

Sebagai contoh, tarif produk tekstil, alas kaki, dan udang sebagai produk unggulan Indonesia masih kalah bersaing dibandingkan dengan Vietnam dan Bangladesh.

“Dengan berlakunya tarif selama 90 hari untuk 10%, maka tarif rata-rata Indonesia yang untuk khusus di tekstil garment ini antara 10 sampai dengan 37%, maka dengan diberlakukannya 10% tambahan, maka tarifnya itu menjadi ditambah 10 ataupun 37 ditambah 10,” jelas Airlangga.

Baca Juga: RI Lobi Washington: Permintaan Relaksasi Tarif, Komitmen Buka Akses Energi dan Agrikultur

Tentunya, penambahan tarif sementara sebesar 10% dari AS hanya memperburuk posisi RI. Tanpa koreksi, Indonesia akan kehilangan pangsa pasar di negara tujuan ekspor terbesarnya itu.

“Yang kedua, terkait dengan hambatan non-tarif, ada beberapa hal yang diminta (AS), dan untuk itu Indonesia juga sudah menyampaikan dokumen untuk merespons yang terkait dengan hambatan non-tarif tersebut,” tambahnya.

Tentu saja, dalam perundingan ini, Indonesia tak datang dengan tangan kosong. Pemerintah menawarkan peningkatan impor komoditas energi AS yang nilainya lebih dari US$10 miliar, baik dari LPG, minyak mentah (crude oil), maupun gasoline (bensin). Pemerintah juga berkomitmen untuk memperluas pasar bagi produk agrikultur AS, seperti gandum, kedelai, susu kedelai, serta meningkatkan pembelian barang-barang modal dari Amerika.

Indonesia juga siap memfasilitasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang selama ini beroperasi di Indonesia, baik melalui kemudahan perizinan maupun pemberian insentif.

Indonesia juga menawarkan kerja sama terkait dengan mineral strategis atau critical minerals, serta penyederhanaan prosedur impor untuk produk-produk, termasuk produk hortikultura dari Amerika.

Kemudian, seperti dalam kerja sama antarnegara di sektor investasi, Indonesia mendorong agar investasi dilakukan secara bisnis ke bisnis. Indonesia juga mendorong pentingnya penguatan kerja sama di sektor pengembangan sumber daya manusia, antara lain untuk sektor pendidikan, sains, teknologi, engineering, matematika, ekonomi digital, serta tentunya Indonesia juga mengangkat terkait dengan jasa keuangan yang lebih cenderung menguntungkan negara Amerika Serikat.

Pendekatan ini bukan sekadar barter, melainkan strategi timbal balik (reciprocal bargaining) yang mencerminkan kematangan posisi Indonesia di meja negosiasi. Jika berhasil, ini bisa menjadi model baru hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara mitra lainnya.

“Indonesia dan Amerika Serikat bersepakat untuk menyelesaikan perundingan ini dalam waktu 60 hari, dan sudah disepakati kerangka ataupun framework acuannya,” jelas Airlangga.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Istihanah

Advertisement

Bagikan Artikel: