
Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) disebut sebagai salah satu cara paling efektif untuk menurunkan emisi karbon dioksida (CO₂) dalam skala besar.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center, Belladona Troxylon Maulianda, menyatakan teknologi ini direncanakan mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2030 atau bahkan bisa lebih cepat.
“Ini (CCS) dapat mengurangi karbon dalam bentuk atau volume yang besar,” ujarnya dalam konferensi pers The 3rd IICCS Forum 2025 di Jakarta, Senin (21/4/2025).
CCS bekerja dengan menangkap gas CO₂ dari cerobong asap pabrik atau fasilitas industri. Gas tersebut dipisahkan dari gas lainnya, kemudian dicairkan dan dikirim menggunakan pipa atau kapal menuju lokasi penyimpanan.
Baca Juga: Indonesia Bisa Jadi Hub CCS Asia, Investasi Sudah Tembus US$38 Miliar
“Sebelum ditransportasikan, biasanya diproses. Jadi, gas di cerobong-cerobong itu dipisahkan antara CO₂ dengan gas-gas lainnya. Setelah dipisahkan itu dicairkan, lalu baru ditransportasikan,” jelasnya.
Setibanya di lokasi, CO₂ disuntikkan ke dalam tanah, terutama ke sumur minyak dan gas yang sudah tidak aktif, atau ke sumur baru yang dikenal sebagai saline aquifer—lapisan bawah tanah yang mengandung konsentrasi garam tinggi.
Khusus untuk sumur yang baru dibor, Belladona menjelaskan bahwa dunia CCS menyebutnya saline aquifer, yakni lapisan air asin di bawah permukaan tanah.
Indonesia dinilai memiliki keunggulan karena potensi kapasitas penyimpanan CO₂ bawah tanahnya sangat besar, mencapai 600 gigaton (GT). Jika hanya digunakan untuk menyimpan emisi dari dalam negeri, kapasitas ini cukup untuk 1.000 tahun. Namun, jika juga menampung emisi dari negara lain, kapasitas tersebut masih mencukupi hingga 200 tahun.
Baca Juga: Indonesia Berpotensi Besar Jadi Pusat Pengembangan CCS di Asia
Selain berperan dalam pengurangan emisi, teknologi CCS juga dinilai membuka peluang ekonomi baru. Indonesia bisa memperoleh pemasukan dari negara lain yang menyimpan CO₂ di wilayahnya. Proyek ini juga diproyeksikan menciptakan sekitar 170.000 lapangan pekerjaan di bidang konstruksi, teknik, dan pengawasan lingkungan (Monitoring, Reporting, and Verification / MRV).
“Kita juga bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan GDP, jadi kita telah menghitung pertumbuhan GDP ini bisa sekitar 0,8 sampai 1%,” lanjutnya.
Belladona menyebutkan, hingga saat ini telah terdapat investasi untuk tiga proyek CCS yang dijadwalkan mulai beroperasi pada 2030, dengan total nilai mencapai sekitar US$38 miliar.
“Ini dari berbagai perusahaan, multinational companies dan juga national enterprises. Itu salah satu investasinya adalah dari Exxon, ini juga diwakili oleh Pak Efran juga, itu adalah untuk menginvestasikan atau membangun fabric tech of dunia yang disebutnya, Network Data Capital Plan, atau Pabrik Petrokimia yang dari hari pertamanya sudah langsung diintegrasikan dengan CCS,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement