Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menilai rencana pemerintah untuk meningkatkan porsi impor energi dari Amerika Serikat merupakan langkah yang sah, selama dilakukan sesuai prinsip bisnis dan kontrak yang berlaku.
Menurut Eddy, kebijakan tersebut harus tetap mengedepankan aspek keekonomian dan fleksibilitas dalam klausul kontraktual.
“Segala urusan untuk impor itu kan dilakukan secara bisnis ke bisnis. Mungkin dilakukan oleh BUMN kita, Pertamina, atau lembaga swasta. Jadi semua itu kan berbasis kontrak. Kalau memang kontraknya sudah menyatakan ada exit clause-nya, bisa dibatalkan sewaktu-waktu, atau dengan exit clause dengan pertimbangan tertentu, ya saya kira itu bisa dilakukan,” ujar Eddy saat ditemui di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Baca Juga: Negosiasi Tarif, RI Tawarkan Peningkatan Impor ke AS
Ia menegaskan bahwa Indonesia berhak menentukan sumber pasokan energi dari negara mana pun, selama kualitas dan harga yang ditawarkan tetap kompetitif.
“Indonesia kan bebas untuk mencari sumber energinya dari mana pun saja. Dengan catatan tentu, energinya itu adalah energi yang memang bisa kita andalkan, terus kemudian harganya juga ekonomis tentu. Jadi saya kira opsi-opsi (realokasi impor) itu tentu bisa kita pertimbangkan lanjut,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan rencana strategis pemerintah untuk meningkatkan impor energi dari AS sebagai upaya menyeimbangkan neraca perdagangan antara kedua negara.
Baca Juga: Nego-Nego Tarif Resiprokal, Tawaran Indonesia: Perlancar Impor Produk AS
Langkah ini meliputi peningkatan impor gas elpiji (LPG), minyak mentah, dan bahan bakar minyak (BBM), dengan nilai total diperkirakan melebihi US$10 miliar.
Pemerintah menargetkan porsi impor LPG dari AS yang saat ini berada di angka 54% akan dinaikkan menjadi 80–85%. Kontribusi minyak mentah juga akan ditingkatkan dari di bawah 4% menjadi lebih dari 40%. Sementara untuk BBM, volumenya akan diperbesar secara signifikan, menunggu finalisasi kesepakatan teknis bersama Pertamina.
Bahlil menegaskan bahwa kebijakan ini bersifat reallocation, tidak menambah total kuota impor nasional dan tidak membebani APBN. Menurutnya, strategi ini juga merupakan bagian dari pendekatan diplomatik agar AS menurunkan tarif ekspor terhadap produk-produk Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement