
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri menyampaikan pidato pada Global Hydrogen Ecosystem System (GHES) Summit and Exhibition 2025 yang digelar di Jakarta International Convention Center pada Kamis (17/4).
Pada kegiatan bertema "Women and H2: Drive the Future" itu, Wamendag menyampaikan keyakinannya bahwa hidrogen merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi yang terdepan.
Baca Juga: Kemendag Perluas Jaringan Bisnis Pengusaha RI di Lingkup Global
Tidak hanya dalam bidang energi, tetapi juga dalam membentuk arsitektur perdagangan baru yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan dibangun di atas rasa saling menghormati.
"Indonesia dapat memanfaatkan hidrogen untuk menjadi yang terdepan dalam arsitektur perdagangan baru yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan dibangun di atas rasa saling menghormati. Indonesia juga harus menegaskan bahwa hidrogen hijau adalah produk masa depan. Tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, tetapi juga geopolitik dan lingkungan. Kemitraan global baru harus dijalin dengan negara-negara yang memiliki visi jangka panjang untuk transisi energi, bukan hanya hubungan perdagangan berdasarkan volume," tutur Wamendag Roro, dikutip dari siaran pers Kemendag, Rabu (23/4).
Hidrogen, khususnya hidrogen hijau (green hydrogen), diproduksi melalui proses elektrolisis air menggunakan energi terbarukan, seperti tenaga surya atau angin. Gas hidrogen dianggap layak menjadi kandidat bahan bakar kendaraan karena hanya menghasilkan emisi berupa air. Hal itu berbeda dengan pembakaran energi fosil yang mengeluarkan emisi gas beracun atau gas rumah kaca.
Di tengah gangguan global, gelombang proteksionisme baru, dan meningkatnya ketegangan perdagangan antarnegara, khususnya di tengah gejolak perdagangan akibat tarif resiprokal Amerika Serikat (AS), hidrogen muncul sebagai simbol harapan. Hidrogen dapat menjadi sumber energi yang bersih dan fleksibel yang berpotensi memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus membuka peluang baru dalam perdagangan internasional.
Lebih lanjut, Wamendag menjelaskan, Indonesia memandang AS sebagai mitra strategis dan berharap dapat terus membangun dialog yang terbuka dan konstruktif. Namun, Indonesia juga harus siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam hal energi, diplomasi Indonesia harus berevolusi; dari diplomasi berbasis komoditas menjadi diplomasi yang berpusat pada teknologi dan keberlanjutan.
Wamendag Roro menambahkan ada beberapa langkah penting yang harus segera Indonesia lakukan untuk memimpin di sektor ini. Pertama, mempercepat regulasi dan insentif untuk produksi dan distribusi hidrogen, termasuk untuk tujuan ekspor. Kedua, memperkuat kolaborasi teknologi dengan negara-negara maju dan mitra strategis baru. Ketiga, diversifikasi sumber komponen utama untuk menghindari ketergantungan pada satu negara. Keempat, pengembangkan infrastruktur logistik dan distribusi, termasuk pelabuhan ekspor hidrogen khusus
"Kita juga harus menjaga keseimbangan. Industri dalam negeri harus diperkuat dan impor dikelola dengan hati-hati. Hal ini agar tidak mengganggu neraca perdagangan kita atau memberi tekanan pada sektor strategis, seperti properti dan konstruksi, yang juga dipengaruhi tarif bahan bangunan," imbuh Wamendag Roro.
Saat ini, hidrogen, termasuk hidrogen hijau, tidak termasuk di antara komoditas Indonesia yang terkena tarif tambahan yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Namun, dampak tidak langsung tetap mungkin terjadi karena banyak komponen penting dalam produksi, distribusi, dan infrastruktur hidrogen, seperti perangkat elektronik, logam khusus, dan bahan bangunan-terkait dengan perdagangan internasional, termasuk dengan AS. Selain itu, kebijakan tersebut juga mempengaruhi iklim investasi dan kerja sama teknologi lintas negara sebagai dua elemen penting untuk mengembangkan ekosistem hidrogen nasional.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement