Warren Buffett dan Berkshire Hathaway: Kapitalisme yang Tumbuh dari Kesederhanaan
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Di sebuah rumah bata sederhana berlantai dua di Omaha, Nebraska—yang dibeli seharga US$31.500 pada 1958—seorang pria berusia 94 tahun masih menjalani rutinitas paginya. Ia membuka surat kabar cetak, menyesap Coca-Cola dingin, dan sesekali mencicipi permen dari See’s Candies, bisnis yang dibelinya lebih dari lima dekade lalu. Pria itu adalah Warren Edward Buffett, "Oracle of Omaha", sosok yang telah mengubah wajah kapitalisme Amerika dengan pendekatan yang sangat… tidak mencolok.
Buffett bukan miliarder biasa. Di tengah budaya flamboyan Silicon Valley, ia tetap hidup sederhana, menghindari jet pribadi (hingga akhirnya membeli perusahaan jet NetJets), dan mengandalkan prinsip investasi jangka panjang yang sabar, rasional, dan membumi. Bersama konglomerasi yang ia kendalikan, Berkshire Hathaway, Buffett telah menciptakan salah satu cerita bisnis paling fenomenal dalam sejarah keuangan global.
Awal yang Tak Dirancang Jadi Legenda
Perjalanan Buffett dengan Berkshire dimulai secara tak sengaja. Pada 1965, ia adalah investor minoritas di sebuah perusahaan tekstil tua di New England bernama Berkshire Hathaway. Ketika manajemen menawarkan untuk membeli kembali sahamnya seharga US$11.50 namun kemudian “menyodorkan” angka US$11.375, Buffett tersinggung. Bukannya menjual, ia malah memborong saham dan mengambil alih kendali. Tekstilnya gulung tikar dua dekade kemudian, tapi nama “Berkshire Hathaway” tetap dipertahankan—mungkin sebagai pengingat bahwa bahkan langkah keliru bisa jadi fondasi sesuatu yang besar.
Dari Geico ke Apple: Portofolio yang Bicara
Berkshire berkembang menjadi konglomerasi yang sulit dikategorikan. Ia memiliki raksasa asuransi Geico, perusahaan kereta api BNSF, produsen baterai Duracell, ritel seperti Dairy Queen dan Nebraska Furniture Mart, hingga saham besar di Apple, Coca-Cola, dan Bank of America.
Baca Juga: Tak Perlu Jago, Ini Cara Investasi Ala Buffett untuk Orang Sibuk
Buffett tidak pernah tertarik dengan hype. Ia tak pernah berinvestasi di perusahaan yang tidak ia pahami. Prinsip ini membuatnya absen dari demam dotcom dan crypto. Tapi ketika ia menaruh miliaran dolar ke Apple, pasar tahu ia melihat sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar teknologi.
Bersama dua tangan kanan yang lebih muda—Todd Combs dan Ted Weschler—serta calon penerus Greg Abel, Berkshire kini mengelola lebih dari US$1 triliun nilai pasar. Tapi kantor pusatnya tetap hanya mempekerjakan 27 orang. Di dunia korporat yang biasanya identik dengan birokrasi raksasa, Buffett justru menunjukkan bahwa efisiensi bisa dimulai dari kepercayaan dan pengelolaan desentralistik.
Filosofi yang Menolak Tergesa
Buffett tidak sekadar membangun kekayaan. Ia menularkan filosofi. Ia percaya bahwa reputasi lebih penting daripada laba jangka pendek. “Lose money for the firm, and I will be understanding. Lose a shred of reputation for the firm, and I will be ruthless,” katanya di hadapan Kongres AS pada 1991, ketika menyelamatkan Salomon Brothers dari krisis moral.
Baca Juga: Profil Hengky Setiawan, Crazy Rich si Raja Voucher yang Namanya Diduga Terseret Investasi Bodong
Ia juga percaya pada warisan—bukan dalam bentuk trust fund untuk anak, tapi dalam bentuk tanggung jawab. Sejak 2006, Buffett telah menyumbangkan lebih dari US$58 miliar ke lembaga filantropi, terutama Bill & Melinda Gates Foundation dan yayasan anak-anaknya. Ia berniat menyumbangkan 99,5% kekayaannya. Dan ketika wafat nanti, ketiga anaknya harus menyetujui secara bulat setiap alokasi sisa donasi. Tak ada warisan otomatis, hanya komitmen kolektif.
RUPS sebagai Ziarah Kapitalisme
Setiap awal Mei, puluhan ribu pemegang saham memadati Omaha untuk mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham Berkshire. Mereka menyebutnya “Woodstock for Capitalists”—sebuah perayaan tahunan, bukan sekadar laporan kinerja, tapi juga forum filosofi, candaan, dan pelajaran hidup dari Buffett dan mendiang partner-nya, Charlie Munger.
Buffett bisa menjawab pertanyaan dari remaja 17 tahun hingga manajer hedge fund, semuanya dengan nada yang sama: bersahaja, lugas, dan penuh kebijaksanaan. RUPS tahun ini akan jadi yang pertama tanpa Munger, yang wafat pada akhir 2023, dan bisa jadi salah satu yang terakhir dipimpin Buffett sendiri.
Masa Depan Tanpa Buffett?
Meskipun Buffett belum menunjuk tanggal pensiun, estafet telah disiapkan. Greg Abel, yang mengelola operasional non-asuransi, akan menjadi CEO jika Buffett tidak lagi menjabat. Namun banyak yang percaya, tidak ada yang bisa benar-benar menggantikan Buffett. Karena Buffett bukan hanya CEO, ia adalah semangat, falsafah, dan penyeimbang dunia keuangan yang terlalu sering tergoda kilau sesaat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement