Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Setelah dirundung awan gelap ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, secercah harapan kini muncul dari Timur dan Barat. Mulai Rabu (14/5/2025), dua kekuatan ekonomi terbesar dunia itu resmi menurunkan tarif impor produk satu sama lain, membuka peluang emas bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam kesepakatan yang berlaku selama 90 hari, AS sepakat memangkas tarif tambahan atas produk-produk asal China dari 145% menjadi 30%. Tak tinggal diam, China pun menurunkan tarif atas produk AS dari 125% menjadi 10%, serta mencabut sejumlah hambatan non-tarif yang selama ini menghambat arus dagang global. Di balik keputusan tersebut, harapan akan pulihnya rantai pasok dunia dan bangkitnya ekspor Indonesia kembali mengemuka.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kesepakatan ini menjadi angin segar yang dapat mendorong kinerja ekspor Indonesia, khususnya pada komoditas unggulan yang sempat goyah akibat ketidakpastian pasar global.
Baca Juga: Efek Pangkas Tarif Impor China, Trump Jauhkan Ancaman Resesi dari AS
“Harga komoditas unggulan ekspor Indonesia diperkirakan berlangsung pulih sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum,” ujarnya kepada Warta Ekonomi, Selasa (13/5/2025).
Bhima tak sendiri. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengamini bahwa membaiknya hubungan dagang dua negara adidaya itu berpotensi mengurangi tekanan terhadap ekspor Indonesia. Menurutnya, komoditas seperti nikel, batu bara, dan elektronik yang selama ini terkena imbas fluktuasi rantai pasok kini memiliki peluang pemulihan.
“Bagi Indonesia, kestabilan dalam hubungan dagang dua kekuatan ekonomi dunia ini bisa mengurangi tekanan pada sektor ekspor, terutama pada komoditas seperti nikel, batu bara, dan elektronik yang terdampak oleh ketidakpastian rantai pasok,” ungkap Josua.
Baca Juga: Harga Emas Ambruk Usai AS-China Damai, Pengamat Ungkap Bisa Jadi Peluang!
Tak hanya dari sisi perdagangan, kesepakatan tarif ini turut dipandang sebagai momentum untuk memperbaiki kondisi domestik. Pengamat pasar modal dan keuangan, Ibrahim Assuaibi, menyebut masa tenggat 90 hari itu sebagai waktu krusial untuk mengevaluasi tantangan struktural dalam perekonomian nasional.
Namun, ia tetap mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87% menjadi alarm dini. “Nah permasalahan utama itu sebenarnya kan tentang masalah pertumbuhan ekonomi yang ada di Indonesia yang kita tahu pertumbuhan ekonomi di Indonesia itu kan kemarin di luar dugaan kan tidak 5 persen,” tuturnya.
Di tengah tekanan eksternal, tekanan internal pun muncul. Ibrahim menyoroti lemahnya belanja pemerintah dan penurunan bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang berdampak pada daya beli masyarakat. Efek domino pun terlihat, mulai dari lesunya konsumsi hingga meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor.
Baca Juga: Kesepakatan Dagang AS-China Beri Angin Segar ke Ekspor RI, Celios Ingatkan Ancaman Serius
“Karena harus ingat bahwa daya beli masyarakat itu tidak jauh dari bantuan pemerintah berupa bansos maupun berupa BLT ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” kata Ibrahim.
Sementara Bank Indonesia terus menjaga nilai tukar rupiah lewat intervensi aktif di pasar valuta asing, sinyal pemulihan global ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Sejauh mana Indonesia mampu memanfaatkan jendela 90 hari ini untuk memperbaiki struktur ekspor dan memperkuat pondasi ekonomi domestik—masih harus dibuktikan.
Kini, ketika perang dagang mulai reda, harapan menguat. Tapi di balik euforia tarif yang turun, PR besar Indonesia untuk menjaga momentum tetap membentang luas. Karena ekspor yang tumbuh bukan sekadar soal permintaan global, tetapi juga ketahanan dalam negeri yang makin diuji.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement