Jadi Industri Penting di Wilayahnya, Bupati Kudus Tolak PP 28/2024 dan Desak Moratorium Cukai Tembakau
Kredit Foto: Antara/Syaiful Arif
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang pengendalian tembakau terus menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus dan serikat pekerja. Regulasi ini dinilai mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) serta berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi jutaan buruh di sektor ini.
Sebagai salah satu pusat produksi rokok terbesar di Indonesia, Kabupaten Kudus sangat bergantung pada IHT. Bupati Kudus, Sam'ani Intakoris, menyatakan bahwa pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 berisiko menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian daerah.
"Di Kudus, industri ini menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan manfaat besar bagi pekerja. Kami meminta agar ada kajian khusus sebelum regulasi ini diberlakukan," tegas Sam'ani dalam peringatan HUT Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) di Lapangan Rendeng Kudus, Kamis (29/5/2025).
Ia juga mendesak moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk melindungi industri dari beban tambahan yang dapat mengurangi daya saing.
Pemkab Kudus berupaya memitigasi dampak negatif regulasi ini dengan memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk program bantuan sosial (bansos) bagi pekerja.
"Jika DBHCHT yang diterima Kudus naik Rp1 triliun, pekerja bisa mendapat bansos selama 12 bulan," jelas Sam'ani.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat perlindungan sosial bagi buruh, terutama di tengah ketidakpastian regulasi dan tekanan industri.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto, menilai beberapa ketentuan dalam PP 28/2024 terlalu membatasi industri, seperti pembatasan iklan, penjualan, dan rencana penerapan plain packaging (kemasan rokok polos tanpa merek).
"Proses deregulasi PP 28/2024 perlu disempurnakan, bahkan kalau perlu dibatalkan," tegas Sudarto.
Ia memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi penyerapan hasil tembakau petani dan memicu PHK massal akibat penurunan produksi.
Ali Muslikin, Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP RTMM PT Djarum Kudus, menyatakan penolakan tegas terhadap PP 28/2024. "Saya sangat tidak setuju karena ini akan menyengsarakan pekerja rokok," ujarnya.
Ali mengungkapkan bahwa buruh telah melakukan unjuk rasa ke Kementerian Kesehatan pada Oktober 2024. Saat itu, pemerintah berjanji melibatkan serikat pekerja dalam pembahasan aturan turunan PP 28/2024, namun hingga kini belum ada realisasi.
Selain menolak PP 28/2024, para pemangku kepentingan mendesak moratorium kenaikan tarif cukai. Kenaikan cukai yang terus-menerus dinilai memperburuk daya saing industri legal dan memicu maraknya rokok ilegal.
Bupati Sam'ani mendukung penuh moratorium ini sekaligus menekankan pentingnya pemberantasan rokok ilegal yang merugikan negara dan industri sah. "Kami juga mendukung tidak ada kenaikan cukai (hasil tembakau)," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement