Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sindiran Presiden hingga Fakta Lapangan jadi Catatan Kepercayaan pada Polri, IAW Beri Tiga Usulan Reformasi

Sindiran Presiden hingga Fakta Lapangan jadi Catatan Kepercayaan pada Polri, IAW Beri Tiga Usulan Reformasi Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Bandung -

Dalam dekade terakhir, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menghadapi krisis kepercayaan yang semakin dalam.

Sejumlah laporan audit, pernyataan resmi pemerintah, hingga putusan pengadilan terhadap oknum anggota menunjukkan bahwa tantangan institusional yang dihadapi Polri memerlukan perhatian serius. Isu korupsi, kekerasan berlebihan, dan akuntabilitas menjadi fokus dalam evaluasi reformasi institusi kepolisian.

Presiden Prabowo Subianto turut menyampaikan catatan kritis terhadap kinerja Polri. Dalam pidato di Istana Negara pada 30 Juni 2024, Presiden mengingatkan pentingnya Polri menjaga integritas. Pernyataan serupa disampaikan dalam rapat kabinet 15 Januari 2025 menyusul kasus 12 anggota yang terlibat narkoba. Pada Hari Bhayangkara, 1 Juli 2025, Prabowo bahkan menyindir Polri dengan menyebut "Bangga seragam tapi korupsi jalan terus."

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus mengungkapkan sejumlah peristiwa yang mencerminkan wajah kelam Polri di lapangan. Bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar pada 2022 lalu yang menewaskan dua orang dan melukai sebelas lainnya menjadi reaksi ekstrem atas tindakan represif aparat. 

Komnas HAM dalam laporannya menilai insiden tersebut sebagai cerminan ketegangan yang membusuk di akar rumput. Kekerasan serupa tercatat dalam kasus pemukulan pekerja tambang ilegal di Sulawesi (2021), serta pengakuan paksa dalam kasus pencurian di Jawa Timur yang dilaporkan LBH Surabaya pada 2023.

Baca Juga: Summarecon Bagi Dividen Rp148 M, dan Tunjuk Jenderal Polisi Kris Erlangga Jadi Komisaris

"Kalau main kasar seperti preman, apa bedanya polisi dengan preman?" ujar Iskandar, Senin (16/6/2025) 

Iskandar juga menyoroti korupsi dan kelalaian aparat yang berujung fatal. Ia mengutip kasus suap Kapolres Jakarta Selatan, AKBP Bintoro, yang divonis lima tahun penjara karena menerima uang Rp 1,3 miliar dari seorang pengusaha.

Selain itu, tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang akibat gas air mata berlebihan juga menjadi bukti kegagalan kepolisian dalam bertindak profesional dan manusiawi. Empat anggota Polres Malang divonis penjara, namun publik tak merasa keadilan sepenuhnya ditegakkan.

"Gaji dari uang rakyat, kok malah jadi beban rakyat?" ujarnya.

Di tingkat Polda, kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang menyeret Ferdy Sambo menjadi simbol puncak krisis moral dan institusional Polri. Sambo divonis hukuman mati, kemudian menjadi hukuman seumur hidup, dan menyebabkan kepercayaan masyarakat anjlok, sebagaimana tergambar dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebut 54 persen publik tidak percaya lagi pada Polri per Juni 2024.

Kasus lama seperti penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pada 2015 juga tak kalah mencoreng. Meski dua pelaku dari Polda Metro Jaya divonis dua tahun penjara, publik menilai hukuman tersebut tak sebanding dengan kejahatan yang terjadi, dan mengindikasikan adanya balas dendam institusional terhadap pemberantasan korupsi.

Lebih dari itu, reformasi yang digembar-gemborkan dinilai hanya kosmetik. Laporan ICW tahun 2025 menyebut ada 15 kasus korupsi besar di tubuh Polri yang belum terselesaikan. Proyek besar "Smart Policing" senilai Rp 1,2 triliun selama 2023–2025 justru gagal mewujudkan perubahan—indikatornya, tilang arbitrer tetap merajalela seperti yang terekam dalam survei Indo Barometer Februari 2025.

Baca Juga: Langkah Kemen PPPA Tangani Kasus Polisi Lecehkan Korban Pemerkosaan di NTT

Lebih lanjut Iskandar memaparkan, audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap banyak kebobrokan seperti pengadaan fiktif senilai Rp 1,2 triliun, penyalahgunaan aset gedung Polres senilai Rp150 miliar, mark-up senjata api hingga 300 persen, hingga raibnya 56 kendaraan dinas dengan total kerugian Rp45 miliar.

Merespons kondisi ini, IAW mengajukan tiga usulan utama reformasi. Pertama, perlunya audit eksternal kolaboratif antara BPK, KPK, dan LSM untuk mengawasi proyek-proyek Polri. Kedua, sanksi pidana harus dijadikan pilihan utama, bukan sekadar mutasi.

IAW juga menyoroti meski 88 anggota dipecat sepanjang 2025, jumlah tersebut hanya mencakup 0,1 persen dari total personel Polri. Ketiga, penerapan penggunaan teknologi blockchain untuk melacak aliran anggaran dan pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) secara transparan.

Baca Juga: Sebut Rp613 T Uang Masyarakat Raib karena 'Kuota Hangus', IAW: Ini Kejahatan Ekonomi Sistemik!

“Reformasi bukan pilihan, tapi keharusan. Rakyat menunggu bukti nyata untuk hukum yang adil, anggaran bersih, dan polisi yang benar-benar ‘pelindung’, bukan predator berseragam,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: