
Warta Ekonomi, Pekanbaru - Ribuan masyarakat enam desa di Kabupaten Pelalawan yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Riau, Kota Pekanbaru, Rabu (18/6).
Warga yang berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) ini mendesak pemerintah agar tidak sewenang-wenang mengusir mereka dari tanah yang sudah lama ditempati.
“Mayoritas masyarakat sudah tinggal di sana sebelum TNTN dikukuhkan dan bahkan telah banyak juga yang tinggal di sana sebelum TNTN ditunjuk. Kalau emang mau menegakkan aturan, kami meminta agar semuanya dikaji ulang. Termasuk proses pengukuhan TNTN itu. Jangan hanya kesalahan masyarakat yang dilihat. Apa lagi kalau sampai dibilang masyarakat merambah TNTN,” ujar Koordinator Umum AMMP, Wandri Saputra Simbolon.
Di satu sisi, Wandri tidak menampik ada masyarakat yang merambah TNTN. Namun tidak sedikit pula masyarakat justru yang dirambah TNTN. “Kenapa saya mengatakan begitu? TNTN itu baru ditatabatas defenitif pada 2011 dan kemudian dikukuhkan di tahun 2014. Sementara jauh sebelum itu, telah banyak masyarakat di sana baru TNTN ada. Pertanyaannya, siapa yang duluan, TNTN atau wasyarakat?” tanya Wandri.
Kalau memang pemerintah mau menegakkan aturan kata Wandri, mestinya pada saat proses penataan batas, hak-hak masyarakat yang sudah berada di sana, harus dihormati, harus di-enclave.
“Aturan kehutanan mengatur begitu. Tetapi yang ada justru, pada saat penataan batas, seolah-olah tidak ada manusia di sana, tak satupun masyarakat yang dilibatkan,” rutuknya.
Akibatnya, kata Wandri, masyarakat terjebak di TNTN itu dan kemudian dituduh merambah. “Dampak yang paling menyedihkan yang dirasakan oleh masyarakat, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) yang menganggap apa yang dilakukan oleh kehutanan telah benar, memaksa kami harus keluar secara suka rela dari sana paling lambat 22 Agustus 2025. Ini tidak adil namanya. Kami berharap kepada Presiden Prabowo untuk melihat derita yang kami alami. Jangan gara-gara kesalahan masa lalu kehutanan, kami yang jadi korban,” pintanya.
Baca Juga: Menyoal Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)
Lagi-lagi menurut Wandri, kalaupun pemerintah melakukan penertiban, jangan hanya masyarakat yang ditertibkan, tapi juga aturan-aturan yang tidak dijalankan dan juga dilanggar oleh kehutanan yang kemudian membuat masyarakat jadi korban.
“Saya yakin Presiden Prabowo sangat punya niat baik terhadap penyelamatan kawasan hutan, dan saya salut dengan gerak cepat Satgas PKH. Namun itu tadi, tolong benar-benar dicek semua agar hasilnya benar-benar berkeadilan. Kehutanan, jangan menutupi boroknya dengan berlindung di balik Satgas PKH. Masuknya perambah ke TNTN, itu tidak semata-mata kesalahan masyarakat. Tapi justru kelalaian kehutanan yang tidak becus menjaga TNTN itu,” tegas Wandri.
Oleh karena itu, kata Wandri, menertibkan TNTN bukan berarti mengusir semua masyarakat yang ada di sana, tapi harus dengan memilah. Sebab itu tadi, tidak semua masyarakat di sana bersalah.
"Kami sangat berharap pemerintah benar-benar adil dalam membuat keputusan. Kalau memang berdasarkan kajian regulasi ada masyarakat yang benar-benar harus direlokasi, silakan,” pinta Wandri.
Sementara, Ketua Umum Wartawan Sawit Nusantara (WSN), Abdul Aziz, yang turut mendampingi warga, mengamini apa yang dikatakan Wandri. Dalam kajian yang telah dilakukan WSN, banyak masyarakat di Riau yang terjebak di dalam kawasan hutan, tak terkecuali warga transmigrasi yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Ini menandakan bahwa kerja-kerja yang dilakukan oleh kehutanan selama ini serampangan. Bayangkan saja, sampai tahun 2016, kawasan hutan di Riau ini masih berstatus penunjukan. Padahal berdasarkan pasal 14 UU 41 Tahun 1999, kawasan hutan harus dikukuhkan untuk mendapatkan kepastian hukum,” terangnya.
Terkait TNTN, kata Aziz, sejak awal justru terkesan dipaksakan dan bahkan melanggar aturan. “Dalam PP 47 Tahun 1997 dan PP 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, areal yang menjadi Taman Nasional itu harus memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. Sementara areal yang jadi TNTN itu selama bertahun-tahun justru telah ditebangi oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH),” ujarnya.
Satu hal yang kemudian dipinta Aziz, dalam konteks TNTN, pemerintah jangan hanya menengok kesalahan masyarakat yang dalam kehidupannya justru telah membantu pemerintah. Masyarakat yang diklaim di TNTN itu selama ini hidup mandiri tanpa merengek kepada pemerintah.
"TNTN itu adalah bagian dari lansekap Tesso Nilo yang luasnya 337.500 hektar. Semuanya berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT). Tapi sejak tahun 1996, di lansekap itu kehutanan telah memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuHutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) kepada sekitar 13 perusahaan. Luasnya mencapai 153 ribu hektar,” katanya.
Baca Juga: Tak Terima Lahan Dibabat Perusahaan HTI, Warga Bakar Rumah hingga Mobil PT SSL di Siak Riau
Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional tadi, kata Aziz, IUPHHK-HTI itu hanya boleh ada pada Hutan Produksi Tetap (HP).
"Data yang kami dapatkan, tutupan kayu di areal itu antara 89-110 meter kubik per hektar. Hutan itu kemudian digunduli dan ditanam akasia. Tahun 2014, barulah areal itu dirubah oleh kehutanan menjadi HP. Apakah ini tidak melanggar?” Aziz bertanya.
Kalau memang sedari awal pemerintah punya keinginan untuk membikin Taman Nasional, kata Aziz, kenapa lansekap itu tidak diselamatkan, kenapa setelah areal itu dibagi-bagi lalu bekas izin perusahaan kemudian diminta untuk jadi Taman Nasional?
“Kami sangat berharap, pemerintah benar-benar melihat semuanya dengan benar. Penyelamatan hutan, itu sangat penting. Namun itu tadi, lakukanlah dengan benar tanpa harus mengorbankan apa lagi menumbalkan masyarakat di kemudian hari,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sahril Ramadana
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement