Kredit Foto: SKK Migas
Pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah mendorong legalisasi pengelolaan sumur migas oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan UMKM melalui skema kerja sama operasi (KSO++) untuk meningkatkan produksi nasional.
Namun, langkah ini mendapat sorotan tajam dari praktisi migas senior sekaligus Dewan Penasehat Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) 2025–2028, Hadi Ismoyo.
Hadi yang telah berkecimpung di industri migas selama lebih dari tiga dekade, menyebut bahwa meski niat pemerintah patut diapresiasi, pelaksanaannya harus sangat berhati-hati.
Menurutnya, tidak semua sumur idle atau lapangan marginal layak dioperasikan karena potensi produksinya kecil dan secara keekonomian belum tentu menguntungkan.
Baca Juga: Bukan Solusi! Legalisasi Sumur Minyak Rakyat Disebut Berbahaya
“Produksinya sangat kecil dan tersebar, hanya sekitar 10.000 sampai 15.000 barel per hari secara nasional. Ini cuma sekitar 1,6–2,5% dari total produksi nasional yang mencapai 600.000 bopd. Belum tentu ekonomis kalau dihitung biaya operasional dan risikonya,” ujar Hadi kepada Warta Ekonomi, Senin (7/7/2025).
Hadi mengatakan, spek keselamatan kerja yang kerap diabaikan dalam pengelolaan sumur-sumur tua oleh pelaku usaha kecil yang belum memiliki pengalaman di industri hulu migas.
Dimana, potensi kecelakaan kerja sangat besar jika tidak dikelola sesuai standar Health, Safety, and Environment (HSE) industri migas.
“Sumur tua itu bisa menyimpan tekanan tinggi (pressure build-up) dan punya masalah integritas sumur. Kalau salah penanganan bisa bocor, terbakar, bahkan blow out. Ini berbahaya, bisa menimbulkan korban jiwa dan pencemaran lingkungan,” jelasnya.
Hadi menegaskan pentingnya keterlibatan aktif dari kontraktor utama (KKKS) dan SKK Migas dalam membimbing serta melakukan screening ketat terhadap BUMD/UMKM yang ingin mengelola sumur tua. Tanpa dukungan struktural dan teknis yang memadai, inisiatif ini berpotensi kontra produktif.
Baca Juga: Bukan Solusi! Legalisasi Sumur Minyak Rakyat Disebut Berbahaya
“Jangan biarkan BUMD atau UMKM membentuk organisasi sendiri tanpa bimbingan. Sudah banyak kasus kecelakaan di Sumut dan Sumsel akibat pengelolaan yang serampangan,” tegasnya.
Terkait skema bagi hasil yang ditawarkan, yaitu 80% dari harga minyak mentah Indonesia (ICP), Hadi menilai sudah cukup adil dibandingkan aturan sebelumnya yang hanya memberikan ongkos angkut dan angkat sebesar Rp4.000–Rp6.000 per liter.
Namun, ia juga menekankan perlunya evaluasi dari sisi pembeli, dalam hal ini Pertamina, terkait kualitas minyak yang beragam dari sumur-sumur tua tersebut.
“Minyaknya kualitasnya beragam dan tersebar, jadi kalau di-blending tidak terlalu berdampak signifikan,” ujarnya.
Hadi mengingatkan agar kebijakan ini benar-benar dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan mengedepankan keselamatan. Jika tidak, niat baik pemerintah untuk meningkatkan produksi migas bisa berbalik menjadi bencana.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement